Matahari kian merosot dari kanvas biru di atas kepala, tidak pernah terlintas dipikiran Asoka tentang memeriksa kondisi buah tangan pesanan keluarga dapat semelelahkan ini.
“Jadi ke IKEA?” Asoka meregangkan tubuhnya, mengusir segala lelah yang hinggap di tubuh.
Youngtaek menggeleng sebagai jawaban, cukup membuat Asoka bingung. “Kalau lo capek, baiknya kita langsung pulang.”
“Siapa bilang gue capek? Tapi ga mood eskrim…laper nih, habis cari barang kita cari makan yuk!”
Petra hanya tertawa, melihat Asoka cepat-cepat masuk ke dalam mobil dan menyalakan map assistant ke arah toko bangunan megah itu, meski sebenarnya tidak diperlukan.
Belakangan Asoka terlihat lebih berwarna, cerah dirinya lebih tampak dari keceriaan yang terpancar. Meski sejujurnya agak menjengkelkan bagi Petra untuk mengakui semua itu datang bersama sosok Nalendra di hidup seorang Asoka Rahardja.
“Gue tau resto chinese food yang autentik, lo mau coba?” bukan Petra namanya jika tidak mencairkan suasana dengan pertanyaan-pertanyaan retorisnya.
“Lo serius nanya? Ya mau lah! Leggo!”
Sama seperti Bima dan Lea, Petra hadir jauh lebih dulu ke dalam hidup Asoka sebelum teman-temannya. Petra mengenal Asoka, bahkan lebih dalam daripada Asoka mengenal dirinya sendiri.
Yang lebih tua masih sibuk berbicara tentang ini dan itu, niat hati yang hanya ingin membeli alas laptop Petra kini hilang entah kemana. Cukup lama sudah keduanya berjalan mengitari seisi gedung, melihat barang satu dan barang yang lain.
“Lo masih ada yang mau dicari Pet? Gue kayaknya udah deh….”
“Hah? Oh, engga…As, mending kita bayar ini, lanjut makan.” Asoka mengangguk setuju, hampir lupa ajakannya sendiri.
Mobil hitam Petra masih berjalan, ada raut yang tidak terbaca di wajahnya, namun jelas terlihat dirinya yang ragu untuk memarkirkan kendaraan beroda empatnya. Tempat makan yang dirinya maksud bukanlah dalam bangunan mewah atau cantik kesukaan anak remaja. Hanya tempat makan sederhana di ruko sempit yang memiliki dua lantai.
“Kenapa ga parkir?” suara Asoka pada akhirnya terdengar setelah beberapa kali telinganya menyambut bunyi klakson, “Oh, engga, gue takut lo ga suka aja. Cari tempat lain aja, gimana?”
Gelak tawa Asoka pecah, pernyataan konyol Petra lagi-lagi sukses membuatnya terhibur. “Kan lo tau gue suka makan apa aja dan di mana aja?? Aneh lo ah, udah buruan parkir, gue laper tau! Kita makan di lantai dua ya?”
Keduanya terdiam, akhirnya duduk di sana menikmati alunan musik yang terdengar bersama hiruk pikuk sekelebat bisik dari percakapan orang-orang di sekitarnya. Tidak terlalu ramai, mungkin akibat lokasinya yang tidak terlalu strategis. Atau sekadar orang-orang yang belum mengetahui keberadaan restonya.
“Lo kenapa sih, gelisah banget kayaknya?” Petra menggeleng, berusaha mengalihkan pandangan Asoka yang sempat mengikuti arah netranya ke meja lain di sana.
Kembali diam, kali ini lebih mencekik dari diam yang lampau. Napas Petra berhembus kasar atas pertanyaan Asoka, “Dari tadi lo ga tenang karna liat itu?? Jadi lo ragu untuk parkir karna liat mobil dia tadi???”
“As mau ke mana?” pertanyaan retoris dari Petra hanya membuat api di mata Asoka kian tampak.
Asoka tidak marah.
Dirinya Kecewa.
“Duduk dulu, As. Ga ada yang aneh, ga ada yang perlu dipakein emosi. Mungkin dia minta tolong cari barang untuk apart kalian nanti, dan kebetulan laper? Just like us, just like you yang minta tolong gue untuk ke tempat souvenir, iya kan?”
Api yang menghinggapi seluruh akal sehat Asoka meredam dalam waktu yang sangat singkat. Mungkin benar, Asoka belum sepenuhnya jatuh hati pada dokter bedah itu. Mungkin benar, Asoka juga belum sepenuhnya percaya pada konsep cinta, komitmen atau apapun yang terkait keduanya.
Namun sangat benar, bahwa Asoka percaya dan telah kecewa untuk kesekian kalinya. Kecewa pada seseorang yang baru datang di hidupnya dan sempat meyakinkan dirinya untuk terus berjalan di langkah yang sama. Asoka merasa bodoh.
“Petra….” sang pemilik nama hanya terdiam, mengelus lembut punggung tangan Asoka, maksud hati menenangkan.
Dalam hitungan detik, lenyap sudah kesabaran yang sedari tadi berusaha dirinya pupuk. Nalendra Kuncoro, dengan entah siapa, saling genggam dan tertawa bahagia, oh jangan lupakan mangkuk-mangkuk di depan mereka yang akan disantap berdua.
Katakanlah jika Asoka terlalu berlebihan dan mendramatisir keadaan, dia tidak peduli. Persetan dengan segala yang dipikirkan, calon suaminya sedang bermesraan dengan orang lain.
“Asoka!” Petra tak lagi dapat menahan, genggam tangannya terlepas dan Asoka berjalan dengan tergesa seolah ada yang mengejar.
“Lo bilang beres-beres apartemen kan?” tanpa basa-basi, kalimat tanya dilayangkan di hadapan meja kedua insan yang sempat hanyut dalam dunianya sendiri.
“Asoka???” bingung. Hanya hal itu yang Nalendra rasakan, hingga akhirnya pergelangan tangan di tarik untuk menjauh dan pergi.
“Kamu apa-apaan?!”
Asoka berbalik saat taut tangannya dipaksa untuk terputus. “Lo yang apa-apaan?!” Asoka gusar, Nalendra menyadari itu. Dengan lembut Nalendra menuntun Asoka untuk masuk ke dalam mobilnya.
Keduanya pergi setelah Nalendra mengirim pesan singkat pada orang yang sempat bersamanya. Dengan santai mengeluarkan ponsel dan bercengkrama di layar pesan seakan Asoka tidak mengetahuinya.
Dengan mobilnya, mengelilingi kota hingga matahari benar-benar hilang dari pandang mata. Kini mobil terparkir, di depan sebuah taman kota yang semakin sepi bersama hari yang pula semakin malam.
“Ada yang mau diomongin?”
“Wah udah gila ini orang.” Asoka mendecih, sedikit membuat Nalendra mengerutkan dahi. Seolah benar-benar tidak mengerti.
“Gue rasa lo ga perlu buang-buang waktu, bawa gue keliling begini. Lebih baik waktu dan duit bensin lo dipakai buat jalan berduaan sama pacar lo itu ga sih?”
“Pacar? Maksud kamu yang tad-”
“Iya! Pacar? Mantan yang baru kemarin putus? Entah.”
Nalendra terdiam, tau betul Asoka kembali pada fase tidak stabilnya. Amarah yang menguasai segala dasar pikiran membuatnya mengatakan segala sesuatu yang berasal dari mimpi buruknya.
“Tarik napas, Asoka.”
Nalendra mencoba menarik kembali Asoka pada pijak rasionalnya.
“Lo- BISA GA LO BERHENTI BERLAGA BAIK??!!! Gausah munafik lah.”
“Maaf?” Nalendra benar-benar tidak mengerti, api emosi Asoka tanpa sadar memantik sesuatu yang lebih besar dalam dirinya. Sesuatu yang tidak diharapkan hadirnya bagi mereka berdua.
“Gue salah karna percaya lo! Mulut manis lo yang AH! Mau mengerti lah mau ini mau itu. STOP KORBANIN GUE DEMI KEPENTINGAN LO!! Dan oohhh gue paham sekarang. Lo ga bolehin gue kerja, supaya gue bisa jadi tahanan rumah lo, ga pergi kemana-mana karna lo yang kerja, seakan-akan lo suami baik di sini padahal asik berduaan sama entah siapa perempuan yang lo pacarin kan?”
“Kamu sadar buruk sangkamu sudah kelewatan kan?” Nalendra masih mencoba bersabar, perlahan menelaah kalimat panjang Asoka yang sama sekali tidak masuk di akal. “Saya cari barang untuk apartem-”
“Kelewat batas??? Lo yang kelewat batas!! Padahal lo bisa loh, ajak gue langsung untuk cek souvenir dan ngurus apart setelah gue interview? Oh!! Atau mungkin lo mau pakai apart sama pac-”
“Busuk.”
Tidak, Nalendra tidak bisa menarik kembali Asoka pada pijak rasionalnya.
“Kamu sadar sekarang bukan lagi pikiran kamu yang busuk tapi hati kamu juga? Kamu sadar kalimat seperti apa yang baru kamu ucap? Kamu tau apa-apa saja yang saya korbankan hanya karna harus terima untuk menikahi kamu?”
“GUE GA PERNAH MINTA LO TERIMA!! Dan segala pengorbanan lo yang gue pun ga peduli apa itu, ga memberikan lo hak untuk berlaku seenaknya, memenuhi kebutuhan lo untuk tetap hangat dari orang lain karna ga pernah dapat afeksi dari kembaran dan orang tua lo!!!”
Yang benar-benar tidak ingin diundang dalam percakapan akhirnya tiba. Nalendra mencengkram pergelangan tangan Asoka dan menariknya, memaksa yang lebih muda untuk sedikit memiringkan badan dan menatapnya tepat di retina, di dalam mata Nalendra yang entah sejak kapan jauh lebih gelap dari malam saat pertama mereka bertemu.
“Yang pertama, Chandrakumara Asoka Rahardja. Dia bukan orang lain dan saya hanya cerita sama dia, supaya kamu ga pertu tau fakta sialan ini, dan biar saya yang telan semuanya sendiri. Yang kedua, saya tidak pernah menyinggung kamu dan segala masalah keluargamu.”
“Lo-”
“Ketiga, saya benci ketika seseorang bertingkah kekanakan, egois, juga tidak masuk akal, dan tiga hal itu yang selalu melekat di dalam diri kamu, bahkan merebak membabi-buta selama beberapa jam terakhir. Dan yang keempat, kenyataannya saya pernah tidak menerima perjodohan bodoh ini.”
Keduanya masih berperang tatap. Kalimat paling panjang dari Nalendra yang pernah Asoka dengar menjadi kalimat paling menyakitkan dalam hidupnya.
“Terakhir. Saya tarik kata-kata saya perihal ingin mengerti kamu.”
Tiap kata pada kalimatnya memiliki penekanan bertingkat, searah dengan cengkraman yang kian menguat.
Alis Asoka bertaut, meringis karena perih di pergelangan tangan. Cengkram pada tangan yang memerah akhirnya terlepas, namun tidak dengan kedua mata yang masih terikat dengan sumbu emosi. “Bukan cuma munafik, lo juga pinter berbual ya, dok? Lo tau lo selalu punya opsi menolak kan?”
“Masalah ini jauh lebih besar dari apa yang ada di otakmu, bocah. Nama kamu, Nama saya, ada di selembar kertas usang bermeterai!”
Masih dengan kepala yang penuh sesak, Asoka tertawa kencang. Mengingat candaan panik dirinya dengan sang adik perihal cerita Zaman Siti Nurbaya. Konyol, pikir Asoka.
Satu pukulan keras mendarat tepat di stir mobil, bersama dengan deru napas yang memburu. Segala amarah yang selama ini Nalendra tahan akhirnya meledakkan bom yang tak lagi dapat dijinakkan.
Bunyi keras akibat daging dan kulit yang beradu dengan kayu berlapis vinyl, secara instan membungkam tawa Asoka yang sempat menyelimuti mobil. Entah Asoka harus bersyukur atau tidak, yang jelas ada sedikit rasa lega bahwa hantaman itu mendarat ke mana saja yang bukan dirinya.
“Kamu pikir disaat begini bisa bercanda? Orang tuamu jual kamu, dan orang tua saya jual saya! Kita ini layaknya barang jual beli yang alat tukarnya juga kita sendiri, Asoka! Kamu kira cerita bodoh masa kanak-kanak itu hanya dongeng belaka? Itu nyata dan KITA SALAH SATUNYA!!”
“Gue ga percaya.” cicit Asoka di tengah sulitnya mengatur napas dan rasa takut dengan laki-laki di sebelahnya.
“Perputaran uang tidak selalu menyenangkan, Asoka. Tidak jika diri sendiri yang menjadi objek lelangnya.” Nalendra mulai melunak, berusaha mengatur kembali ritme bicara dan emosi yang -sialnya- sempat meledak tanpa sadar.
“Gue bilang gue ga percaya! Bisa ga lo jangan buat seolah-olah orang tua gue penjahatnya?!”
Nalendra memijat pelipisnya, benar-benar pusing dan tidak mengerti jalan pikiran seseorang yang kini duduk di bangku penumpang. Tanpa kata, tanpa suara, dashboard mobil dibuka. Ruang penyimpanan yang kemarin berisikan buah tangan dari galeri seni, kini tergantikan dengan secarik kertas yang menguning.
“Ini-”
“Selesai baca letakkan lagi di dashboard. Oh ya….”
Nalendra menatap lekat Asoka yang tengah membaca isi kertas di tangan dan menahan napasnya, sebelum akhirnya menyalakan mobil.
“Saya punya salah, saya minta maaf. Saya usahakan semampu saya untuk membatalkan acara bodoh itu. Tapi kalau tidak bisa….” perlahan mobil kembali melaju, mata yang lebih tua seolah enggan beranjak dari jalan.
“Kalau ga bisa?” tanya Asoka bergetar, banyak kemungkinan di kepalanya dan Asoka takut akan segala kemungkinan itu.
“Setelah menikah saya ga akan ganggu kamu, saya juga bisa tinggal di tempat lain supaya ga perlu ketemu kamu. Pergi dan kerja di manapun, sejauh apapun kamu suka, lakuin apapun yang kamu mau. Anggap aja kita ga saling kenal.”
“Tapi-”
“Kalau kamu ga suka, kamu tau di mana Kantor Pengadilan Negeri.”
Kalimat final Nalendra seolah menjadi penutup percakapan dan waktu keduanya malam itu. Mobil dikemudikan, di tengah sepi yang kian mengurung hampanya hati dan jiwa yang menangis.
Lampu-lampu di pinggir jalan seolah menjadi satu-satunya hal yang dapat menerangi isi kepala nan terlampau gelap.
Keduanya kalah. Kalah akan ego dan emosi yang tidak terkendali atas diri masing-masing. Tidak hanya yang muda, bahkan yang lebih dewasa nampak tidak menyadari kalimat seperti apa yang telah bembabi-buta terlontar dari bibirnya.
Nalendra bagai air yang berputar di dinginnya Laut Antartika, dan Asoka bak api yang berkobar di relung panas Garis Khatulistiwa. Keduanya bertentangan dan saling mencekik, disatukan dengan paksaan yang tak memiliki jalan keluar.
‘Gue mau ngomong sama ayah sama bunda. Itu juga kalo masih punya energi untuk sekedar bernapas.’ pesan singkat terakhir dari Asoka kepada sang adik sebelum ponselnya mati.