Awal dari Cerita

🥀
3 min readJan 29, 2023

20 Januari 2023, waktu di mana segalanya berawal.

Chandrakumara Asoka Rahardja, seorang penulis lepas yang -seharusnya- hanya pusing memikirkan deadline tulisannya yang sudah disepakati dalam kontrak, kini harus terbebani lagi dengan ‘kejutan’ dari sang ibu. Kesepakatan telah dibuat, janji telah tercatat. Tak ada lagi yang bisa diperbuat selain menganggukan kepala dan menurut.

Di waktu yang sama, pada tempat berbeda yang masih di dalam kota. Laki-laki jangkung dengan jas putih khas rumah sakit, duduk berhadapan dengan sepasang suami istri dan segelas kopi panas.

“Nalendra Kuncoro.”

“Satu pertanyaan.”

Baik pria dan wanita yang ada di hadapannya memasang wajah harap-harap cemas, keputusan mereka memang tidak bisa dikatakan tepat, satu langkah yang diambil, dan seluruh kehidupan akan berubah. Ditambah waktu yang terus berputar dan semakin sedikit, membuat segalanya kian memburuk.

“Nalen juga manusia, kapan Nalen bisa ambil keputusan sendiri? Ralat, kapan Nalen boleh nentuin nasib hidup sendiri?”

“Len…mama sama papa cuma mau yang terbaik untuk kamu.”

“Cuma kemauan, bukan kepastian.”

Untuk sekali lagi, helaan napas terdengar seperti memberi tau segala yang ada di hadapannya, bahwa rasa lelah yang memuncak tak lagi dapat dibendung, Nalen benar-benar akan angkat kaki. Yang berdiri dan hendak pergi, dipaksa untuk duduk kembal, seolah akan ada alasan lebih masuk akal akan semua.

“Untuk terakhir kalinya, Nalen…mama mohon.”

“Ma, bahkan Nalen ga tau siapa orang yang kalian pilih? Ayolah, masuk akal sedikit.”

Seolah tau arti tatap nyalang sang anak, jawaban langsung dilayangkan bersama dua lembar foto di meja, “Itu polaroid dari orang tuanya, jangan salah sangka.”

“Laki-laki???”

“Kenapa?” kali ini sang kepala keluarga yang balik bertanya, wajah meremehkannya terpasang kembali, dan Nalen berani bersumpah bahwa dirinya terlampau membenci wajah itu.

“Kalau calonnya perempuan, bisa-bisa kamu mikir untuk bertindak sesuka hati. Atau jangan-jangan takut kalah? Takut didominansi?” lanjutnya.

Si paling muda mendengus kasar, meremehkan kalimat sang ayah yang baru saja didengarnya. Seorang Nalendra? Takut akan dominansi? Jangan melucu.

“Nalen ga mau sama anak kecil.”

Dirinya hampir menyetujui perjodohan konyol yang direncanakan kedua orang tuanya, namun apa yang dirinya lihat? Anak remaja? Yang benar saja?

“Namanya Asoka, dua tahun di bawah Kamu. Sekarang kerja jadi penulis lepas…buku fiksi kesukaanmu, apa judulnya?”

Red Thread and Paper Crown?

“Dia penulisnya.”

Buku fiksi dengan sampul dominan putih, yang telah mengajarkan Nalen betapa indah tarian dengan kata, menyadarkan bahwa khayal ada berdampingan dengan realita. Bertemu sang penulis menjadi salah satu keinginannya. Keinginan yang entah kapan dan bagaimana cara mewujudkannya.

Dan saat mimpi itu menjadi kenyataan, bukan alur cerita seperti ini yang Nalen inginkan.

“Mama sama papa mau ketemu keluarga mereka tanggal 31, kamu ikut ya?”

“Ketemu?”

“Makan malam biasa, bukan lamaran. Ayah booking meja di resto kesukaan Kamu. Kamu mau kan?”

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

No responses yet

Write a response