Malam semakin larut namun mata semakin terjaga. Isi kepalanya dengan liar menari-nari dengan memori yang sempat terjadi. Balutan perasaan yang sebelumnya tak pernah hadir, kini bergejolak dalam dada dan kian mahir.
Nalendra K. Kuncoro, mengingat seluruh kenang panjang bersama Fiany, dan distraksi indah dari hadirnya Asoka.
“Mereka berdua…punya peran masing-masing.”
Dengan alur klise yang berjalan bersama waktu dengan jarum jam dinding di pukul tiga, kertas-kertas di hadapannya hanya berdiam. Tanpa disentuh, tanpa dibaca.
“Jatuh cinta? Konyol.” monolog itu terus terucap. Bersama kepala yang semakin berisik, Nalendra berusaha untuk tetap pada akal sehatnya.
Pagi nanti dirinya masih harus hadir tepat waktu, melayani pasien dan janji-janji rawat jalannya. Masih ada makan siang, dan menyerahkan surat pengajuan cuti yang entah apa akan disetujui yayasan atau tidak.
Surat permohonan sudah ditanda tangani, tubuh tinggal beristirahat dan menjalankan hidup selayak biasanya, namun bising kepala masih juga bersuara.
Jatuh cinta adalah hal gila yang sebelumnya tidak pernah dirasakannya. Rasa-rasanya bahkan Puspa dan Fiany tidak pernah membawa hal itu ke dalam hatinya. Entahlah, Nalendra selalu kaku perihal asmara. Sedikit beruntuk karena romansa tidak ada laman mata pelajaran selama sekolah, atau rapotnya benar-benar akan dihias tinta merah.
“Sekadar kagum, seperti biasa….”
C. Asoka Rahardja, siang tadi.
“Pernikahan itu hal sakral, setuju untuk menikah artinya setuju untuk terikat satu sama lain dalam bahagia dan sengsara. Ada komitmen di dalamnya, dok. Ga bisa main-main.”
Tiap-tiap kata yang keluar dari dalam bilah bibirnya seolah menari di telinga. Suara lembut itu pula yang menyadarkan Nalendra, bahwa debar aneh itu sebenarnya ada dan nyata.
“Jangan salah paham, gue hargai segala keputusan lo, kok. Asal lo bisa hargai juga segala yang gue punya…dan pinta.”
Nalendra bukan orang bodoh yang tidak mengerti maksud kalimat yang lebih muda. Asoka secara implisit mengatakan menginginkan hadirnya seorang anak diantara dia dan siapun pasangannya, namun dengan beberapa alasan yang terlampau sulit dirapal, Nalendra membenci anak-anak.
Terlalu sulit bahkan rasanya mencekik. Konyol memang, tapi tidak ada yang bisa dilakukan selain berusaha untuk tidak menyinggung topik sialan-kata Nalendra-itu.
Dan atas keinginannya, Asoka menjadi satu-satunya yang menerima keputusan itu tanpa pincingan mata. Meski bertentangan dengan apa yang sebenarnya laki-laki mungil itu inginkan.
“Kemungkinan terburuk, maksud kamu gimana?”
“Setiap cerita punya akhir yang beda, mungkin surga, mungkin neraka. Lo tau betul gue sama sekali nentang perjodohan ini, tapi kita sama-sama paham, surga pun bisa dibangun dengan pondasi keterpaksaan…kak.”
Kak. Rasa yang berbeda dari sebelumnya, terutama ketika jemari dibalut dalam genggam, dengan tatap teduh penuh yakin.
Nalendra kehilangan kata.
Pula, Fiany Rachell, tadi sore.
Bulan sabit terlukis indah di wajahnya, tertawa dengan lelucon konyol milik sendiri dan hanya disambut senyum hangat milik yang lebih dulu bekerja di sana. Senyum yang tidak pernah ia tunjukkan pada dunia.
Celotehnya tentang ini dan itu hanya dibalas seadanya, namun seluruh perhatian tidak pernah pudar. Bahkan seolah tersehir, iris gelap mata Nalendra terus terkunci dalam mata milik sang wanitanya, tidak berkedip.
“Padahal kemarin aku bilang jangan terlalu asin! Harus ya aku ke dapur kantin, supaya ngomong langsung sama koki?! Gimana kalau pasien ginjal yang konsumsi?!”
“Sabar, Fi….” dan selalu begitu. Topik ringan-yang sebetulnya cukup berat bagi orang awam-menjadi kesukaan keduanya. Setiap kepala yang melihat, tiap telinga yang mendengar, semuanya akan bersaksi betapa serasi sepasang dokter jenius itu.
“Ngomong-ngomong, kamu mau ajukan cuti, Nal? Kenapa?”
“Aku…mau menikah, Fi.” hening. Untuk sesaat keduanya hanya diam bertukar tatap, baru kali ini Nalendra tidak bisa menerjemahkan air muka kekasihnya, sedikit rasa bersalah yang ternyata masih ada akhirnya menghujani isi hati.
Suapan terakhir Fiany menjadi aktivitas terakhirnya di kantin hari itu. Keduanya melangkah, kembali membuka topik lain untuk menepis kecanggungan yang ada. Nalendra tidak mengerti kapan kesempatan yang tepat untuk menjelaskan seluruh takdir konyol yang mengikat mati benang merah hidupnya, pun Fiany yang seolah tidak peduli akan segalanya.
Obrolan yang kembali terbuka semakin bergerak kesana dan kemari, bahkan hingga keduanya berada dalam dingin sepi di dalam mobil.
“Kalau begitu, kasus ini gak bisa dihitung mati otak?”
“Bukan gak bisa, kemungkinan hidupnya masih ada. Peluru ini tembus tengkorak belakang, bahkan stuck *di cairan serebrospinal.” *
“Artinya bukan mati otak, tapi saraf pusat yang terganggu? Operasi sumsum tulang belakang?”
“Tepat! Lebih rincinya medula spinalis. Oke, sampai.”
“Saya masih harus banyak belajar untuk jadi dokter bedah saraf yang hebat. Kalau begitu saya pamit, terima kasih…Senior.”
Senior. Asing di telinga, dan mengganggu kepala.
Keduanya terus mengusik kepala Nalendra hingga pagi menjelang. Mungkin matanya baru akan tertutup setelah bunga pukul empat membuka mahkota indahnya. Mungkin keberuntungan Nalendra akan diuji esok hari. Tanpa ada janji operasi dan hanya pemeriksaan rutin pasien-pasiennya, Nalendra tidak berani menerka apa yang akan terjadi di harinya nanti. Meski lain cerita jika bagian gawat darurat meminta bantuan.
Entah pula kesimpulan macam apa, namun intinya mereka berbeda. Fiany selalu tau mana yang benar dan salah, dirinya pandai menempatkan diri pada kenyataan meski pahit untuk tetap terus dalam realita. Logika, strategi, juga fakta…adalah hal utama baginya.
Lain dengan Asoka yang hidup dalam imajinasi. Bayang indah seolah menjadi pelarian dari dunia yang kelam. Pelarian yang entah bagaimana membawa cerah diri dan motivasi untuk terus bergerak. Rasa, hati, serta hal nyata…merupakan yang selalu ia percaya.
Mereka manis, juga indah.
Mereka pula ceria serta pintar.
Keduanya pun cukup keras kepala.
Nalendra yang selalu benci dijadikan objek banding kini mulai membandingkan dua keturunan adam dan hawa yang belum lama singgah di hidupnya. Keduanya serupa, namun jelas sangat berbeda.
Mungkin benar, Nalendra jatuh cinta, namun entah pada siapa.
Saat ini, yang jelas, untuk setidaknya pagi nanti ketika mata bertatap dengan cahaya mentari, pintanya hanya satu-
“Jangan sampai bertemu…keduanya. Saya butuh istirahatkan kepala barang sejenak….”