“Santai aja..”
Bohong adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan Asoka kala itu. Berpura-pura baik saja, padahal ingatan perihal makan malam keluarga yang tidak lebih dari mimpi buruk bagi Asoka tengah menghantui. Kali pertama adalah saat dirinya bertengkar diluar kendali, melempar tantangan dan tawaran tidak masuk akal yang-untungnya-dibatalkan.
Yang kedua bukanlah makan malam, dan tidak seburuk sebelumnya. Namun pertengkaran kecil sebelum menghabiskan waktu di museum cukup membuat sebelah alis orang tua Nalendra terangkat.
“Takut buat salah….”
“Ada saya.” dua kata yang cukup membuat rongga dada lebih luasa dari seharusnya.
Nalendra selalu tau bagaimana menenangkan Asoka.
Dan menyakitinya, secara bersamaan.
“Takut papa sama mama ga suka aku….” sebelah tangan pengemudi menjauh dari setir, menggenggam jemari dingin yang sedari tadi bergerak gelisah.
“Kalau mereka ga suka kamu, ga mungkin mereka maksa kamu untuk jadi menantunya, kan?”
Benar. Meski latar belakang perjodohan tidak lebih dari sekadar rencana bisnis konyol yang tidak akan ditemukan ujungnya, tidak akan pernikahan itu berlangsung jika dirinya tak disukai.
“Asoka.”
Pemilik nama menghentikan gerak tubuhnya, menahan diri tidak langsung keluar dari mobil hitam yang baru saja terparkir di halaman rumah. Tanpa suara, kedua alis terangkat sebagai pertanyaan, ada apa?
“Ayo…bergandengan.” beberapa kali mata dikedipkan, berusaha mencerna dua kata yang dirinya harap tidak salah dengar. “Ya?”
“Kita harus bersikap seolah pasangan yang utuh. Kamu paham maksud saya kan?”
Lagi, yang terduduk di kursi penumpang hanya diam dan mengangguk setelah beberapa saat. Kata ‘seolah’ dengan tidak nyamannya berputar di benak, mengganggu dengan cabang pikirannya yang melanglang buana. Apa sikap Nalendra selama ini hanya seolah? Apa tatap, senyum, peluk yang Nalendra berikan hanya seolah?
Apa janji suci mereka pula hanya seolah?
Lengkung secara paksa disunggingkan, meski suara di kepala terus meraung tentang apa yang sebenarnya terjadi, tentang alur macam apa yang hidupnya lewati.
“Asoka!” genggam keduanya terlepas untuk memeluk perempuan paruh baya yang menyambutnya dengan…tulus, atau seolah tulus? Tidak ada yang tau. Bahkan untuk percaya, kini Asoka benar-benar tidak tau.
“Selamat malam, ma.”
Sambutan singkat yang diterima berlalu, mengantar seluruh penghuni rumah berkumpul di ruang keluarga untuk berbincang ringan. Ada sedikit rasa senang saat tau, Asoka dianggap hadirnya.
Waktu terus berlalu, yang sempat bertegur sapa dan kabar kini telah duduk berhadapan di meja makan. Hidangan sederhana banyak tersusun di depan mata, menunggu empat kepala menyantapnya.
Canda beberapa kali terselip disela kegiatan makan malam yang tak disangka, hangat. Denting alat makan dan tawa menjadi kian serius seiring suap, mengubah atmosfer menjadi sedingin suhu peralihan antara musim dingin dan semi.
“Jadi, apa Asoka sudah setuju?”
Pertanyaan aneh dengan aura terlalu dingin berhasil membekukan ketiga orang yang lain. Asoka menatap mertuanya bingung, tatap hilang arah yang diterima dibalas dengan lirik sekilas ke sisi, ke arah Nalendra yang tidak berani menatap siapapun di meja.
“Setuju apa, pa?”
“Oh? Daeyeol belum bicara sama kamu?” gelengan hanya menjadi satu-satunya jawab yang disusul tatap menuntut ke seberang meja, di mana Nalendra duduk di depannya, di sebelah sang papa.
“Pa…mereka itu baru beberapa hari loh, mungkin belum sempat. Capek loh, baru menikah dan pindah rumah, iya kan Len?”
“Iya, ma.” dengus kasar keluar dari yang paling dewasa di sana, percakapan penuh tanda tanya membuat suasana menyenangkan terkikis perlahan. Sisa hidangan dimakan dengan sepi yang mendominasi, dan ketidak nyamanan yang menemani.
“Nalendra, papa mau ngomong.” sang kepala keluarga berjalan pergi tanpa kata setelahnya. Si bungsu Kuncoro berdiri, menatap suaminya beberapa saat dan pergi, entah untuk membicarakan apa.
“Asoka, bantu mama, yuk?”
“Kalian gimana?” percakapan dibuka dengan pertanyaan aneh lainnya. Tanpa konteks, tanpa keterangan, pertanyaan yang mungkin juga tanpa jawaban.
“Kalian baik-baik aja kan? Nalen nyusahin kamu ga? Mama khawatir….” tangannya masih sibuk mengeringkan dan menyusun alat makan ke tempat semula, tidak menyadari Asoka yang sudah tersenyum masam. Karna memori manis tiba-tiba dihancurkan bayangan kemarin saat Nalendra menghubungi Fiany di restoran.
“Ga perlu khawatir, ma. Kami baik, kok! Kak Nalen juga ga pernah nyusahin. Dia sering aja Asoka ngobrol di apart, terkadang kami cuma diam di sofa, nonton tv atau baca buku.”
“Mama seneng dengernya.”
Ucapan yang terlontar tidak lebih dari kalimat penenang. White lie. Tidak sampai hati untuk mengatakan yang sebenarnya, tentang bagaimana keduanya hidup dalam satu atap namun terkadang tanpa menatap, atau bagaimana mereka bersama meski tanpa bicara.
“Nalendra itu keras kepala, persis papa-nya. Pendiriannya juga tinggi, apa yang dia mau, harus dia dapat pakai usaha sendiri.”
Asoka hanya diam, mendengarkan cerita yang tidak jelas bagaimana bisa berawal. Piring yang kotor telah bersih kembali, keduanya tetap di tempat untuk terus berceloteh tentang seorang tokoh utama dalam cerita hidup keduanya. Nalendra K Kuncoro.
“Anak itu ga pernah cerita apa-apa, semua dia pendam sendiri. Nalendra juga susah dimengerti, semua yang ada di kepalanya selalu tersirat. Tapi tau dia sering ngobrol sama kamu, mama jadi seneng. Terima kasih ya, Asoka…sudah mau jadi anak mama.”
Entah sejak kapan ibu mertuanya berlinang air mata, yang jelas tepat membuat Asoka benar bertekad untuk mengenal pendamping hidupnya.
“Ma, Asoka boleh tanya?”
Langkah kaki kembali menuju ruang tengah, menunggu dua kepala keluarga selesai dengan entah topik percakapan panjang apa yang keduanya bahas.
“Boleh, mau tanya apa?” jari dimainkan, menimang apakah yang di kepala benar harus ditanyakan atau tidak.
“Kak Nalen…pernah pacaran?” ibu mertuanya mengangguk tanpa berpikir dua kali. Nama Fiany secara langsung bersarang di kepalanya, melihat sang mertua membenarkan tanpa ragu membuatnya yakin, Fiany pernah hampir di jenjang sejauh ini dengan Nalendra.
“Tapi mama lupa siapa namanya. Habis sama mantannya, Nalen juga sempat dekat sama orang lain, tepat sebelum kalian menikah. Tapi ya begitu, Nalen ga pernah seserius sama kamu.”
Yakin yang ada berubah menjadi abu-abu, hitam dan putih prasangka kini menjadi samar. Ada orang lain? Jadi Fiany bukan satu-satunya? Dan apa maksud tidak pernah serius seperti dengan Asoka?
“Maksudnya gimana, ma?”
“Daeyeol selalu tau dan yakin yang baik buat dirinya. Dia ga pernah ragu untuk bilang atau lakuin sesuatu, selama menurutnya benar, meski buat orang sekitarnya ga suka. Termasuk pacarnya dulu.”
“Terus…maksudnya ga pernah seserius sama Asoka?”
“Soal yang tadi di meja makan…biasanya anak itu ga akan peduli apapun. Baru kali ini mama lihat dia ragu. Itu karna dia mikirin kamu.”
Kalimat panjang yang semula hanya menjadi penenang, kini berubah artian. Mereka tidak sesering itu bertukar kata, tidak pula menghabiskan waktu bersama. Hanya sepasang orang asing yang berbagi tempat tinggal.
Namun semuanya berubah setelah kesungguhan yang ditampakkan mama.
Kalimat penenang yang tersampaikan secara asal kini berdiri dalam niat lain di hati. Menjadi sebuah asa dan angan yang ingin dibangun dan diwujudkan. Jika memang bukan untuk diri dan pernikahannya, setidaknya untuk mama dan bunda yang meletakkan banyak harap dari hubungan kedua putranya.
“Kamu panggil Nalen sana, sudah malam loh, atau mau menginap?”
“Eh engga, ma. Kak Nalen besok sudah mulai ke RS, kami harus pulang.”
Dengan tekad yang baru tumbuh mekar, Asoka menjemput suaminya yang masih serius bertukar argumen dengan papa. Kata tergantung diujung mulut, setelah mendengar masing-masing kalimat terakhir dari keduanya.
“Kamu harus kasih tau Asoka, anak itu harus tau!”
“Pa, sekarang Nalen sudah menikah! Nalen sudah nurut semua yang papa mau, sekarang biar ini jadi urusan Nalen. Nalen tau apa yang harus dilakuin.”
“Kak….” dua orang yang beradu kalimat sama-sama memalingkan pandangan ke sumber suara, Asoka memasang senyum lugu seakan tidak mendengar satupun penggal kata.
“Sudah malam, ayo pulang.”
Keduanya berpamitan, Nalendra yang menjabat tangan papa, dan Asoka yang memeluk mama. “Alen. Sebut itu kalau suamimu mulai keras ga masuk akal. Itu panggilan kecilnya, nama kesayangannya.” bisik mama sebelum melepas pelukan.
Asoka akan merubah gurauan menjadi angan, dan mewujudkan harapan, meski harus berkorban.