Cerita Baru

🥀
5 min readFeb 26, 2023

14 Februari 2023, Di atas lembar lain kisah dunia

Jam menunjukkan pukul sebelas lebih lima belas menit, Nalendra telah membaca sumpah pernikahannya di depan sang pemuka agama dan sanak saudara, kini tiba giliran Asoka yang harus merapal sumpahnya.

“Chandrakumara Asoka, maukah anda menikah dengan Nalendra Kalanath yang berdiri di hadapan anda, menerimanya sebagai seorang suami serta mencintainya dengan setia, seumur hidup baik dalam suka maupun duka?”

Dua bibir Asoka saling tertutup rapat, diam dari salah satu mempelai menjadi kekhawatiran sendiri terutama bagi keluarga. Melihat keraguan yang nyata di pahat mata Asoka, Nalendra mengeratkan genggam, menatap teduh mata Sungyoon untuk meyakinkan, semua akan baik.

“Saya bersedia.” ucap Asoka final, membuat seluruh kepala dapat bernapas lega.

Kisah selanjutnya adalah pemasangan cincin dan panjat doa yang dipimpin sang pendeta. Prosesi janji suci telah usai, masih berhadapan di depan seluruh jamaat, kedua mempelai dipersilahkan untuk mengecup sang pasangan.

Asoka tidak akan berbohong dan menutupi fakta bahwa jantungnya hampir jatuh tatkala kedua tangan Nalendra menangkup wajahnya.

“Terima kasih sudah percaya, Soka.” kalimat indah sebelum dirinya mengecup kening yang lebih muda.

Seluruh orang yang hadir bersorak bahagia, pemandangan indah yang diiringi tatap bahagia setiap yang melihatnya. Mata yang tak henti-hentinya melayangkan ucapan selamat, mata yang menenggelamkan mereka yang memandang dengan sirat benci.

“Petra, lo mau ke mana?”

“Ke belakang sebentar, kenapa?”

Janji pernikahan yang diucapkan di gedung memudahkan penyelenggara untuk langsung beranjak ke sesi selanjutnya, resepsi. Meski dijanjikan pesta dengan skala minim, makan siang bersama dan kumpul keluarga serta teman tetap dilaksanakan.

“Boleh tolong ambilin hp gue ga? Ada di ransel gue, di ruang pengantin.”

“Gila aja, ya kali gue yang ambil, As. Bima aja, ga sopan gue masuk ke sana.”

Asoka meyakinkan Petra untuk tetap menangambilnya, mengingat adiknya sibuk makan di ujung ruangan dan dirinya yang sibuk menjamu para tamu. Oh, juga suami yang entah dimana, tidak bisa ditemukan.

Petra mengalah, melangkahkan kaki melewati ruang demi ruang, hingga papan di pintu yang bertuliskan “R. Pengantin” kembali menghetikan langkahnya. Ada ragu yang menyelimuti ruang di dada untuk tidak masuk, entah karena apa.

Pintu terbuka, dan di hadapannya adalah sesuatu yang tidak pernah diharapkan adanya. “Akan jauh lebih baik kalau lo berdua mesra-mesraan di waktu dan tempat lain.” kaget setengah mati, namun tenang dalam nada bicara petra menutup itu semua.

“Maaf, anda siapa?”

“Gue? Orang yang lebih bertanggung jawab untuk jaga Asoka daripada lo, sih.” acuh, Petra hanya menatap datar keduanya secara bergantian. Kembali membongkar isi tas Asoka dan mengambil barang yang diminta.

“Saran gue, lo berdua bubar dari sini. Sebelum Asoka yang liat kalian…otak masih punya kan?”

Si ketus yang diamanahi Asoka akhirnya keluar ruangan, meninggalkan dua orang yang masing-masing dihinggapi kekesalan. Ucapan Petra terlalu kasar untuk diterima telinga.

Tidak menunggu detik, kepala Petra kembali menyembul dari balik pintu dan dihadiahi tanya ketidak sukaan, “APA LAGI?!” yang lebih tinggi, Nalendra, menahan seseorang di sampingnya agar tidak termakan emosi, “Fian…jangan begitu.”

“Santai, gue cuma mau tanya smoking area di mana?” layang Petra sebelum menerima jawaban dan kembali menutup pintu.

Ruangan berisi sekitar tiga puluh orang semakin terlihat sepi, sudut demi sudut ditelaah untuk menemukan sang pemilik ponsel, yang tak kunjung tampak. “Tadi bilang mau ke toilet sih, Pet.” Petra mengangguk dan membawa diri untuk duduk, berdiam. Mencoba menetralkan emosi yang hampir meledak.

“Petra….” sang pemilik nama mengangkat kepala, terdiam melihat yang lebih tua seolah telah kehilangan kebahagiaannya. “Kenapa lo?”

“Hp gue mana?” kantung celana dirogoh, sang tamu pamit untuk pergi ke belakang, tidak berniat bertanya lebih lanjut. Tidak saat semua orang meletakkan perhatian pada Asoka yang seharusnya bahagia.

“Dari seluruh manusia yang lo pikir bisa lo bohongin, gue adalah orang yang salah, As. Cerita.” bisik Petra sebelum benar-benar meninggalkan ruangan.

Suara tapak kaki bergema di lorong yang sepi, tidak ada siapapun di sana membuatnya bebas belakukan apapun. Termasuk mencerna apa yang terjadi dan menelaah segala kemungkinan yang ada, tentu sembari menyiapkan linting putih dari saku.

Netranya mengikuti suara langkah, “Lo ga ngerokok, ngapain ke sini?” pertanyaan yang melayang, sampai bersama tatap nyalang dan jemari yang sibuk memantik api.

Rokok dinyalakan, hisapnya membiarkan seluruh asap berputar di paru-paru dan menghangatkan tubuh di Februari yang dingin. Hembus asap yang keluar perlahan menandakan berat di kepala yang sama-sama ingin dilenyapkan.

Stop ngurusin urusan orang.” yang sebelumnya ditanya akhirnya memalingkan tubuh, mengepal tangannya kuat untuk menahan emosi yang ada.

Stop hancurin hubungan orang.” terlalu santai hingga membuat yang lebih mungil dibakar amarah.

Leave him. Lo tau dia ga akan jadi milik lo kan?” lanjut Petra.

“Lo mau apa sih?!” atas pertanyaan yang menyerang, Petra untuk sekali lagi menghembuskan kepul asap dari rongga dadanya, memusatkan pandang tajam pada manik lawan bicara. “Gue ma-”

Percakapan diputus saat telinga menangkap gelombang derap langkah yang mendekat. Asoka datang dengan tergesa.

“Petra! Gue kira lo pul- Pet…lo ngerokok?”

“As- oh maaf, gue mat-”, gelengan Asoka menghentikan gerak yang lebih muda, lagi. “Ga perlu, gue cuma mau ajak makan, anak-anak udah nungguin lo.”

Asoka beranjak menjauh, sebelum aroma asap benar-benar membuatnya pusing.

Suara tawa kecil bergema, setidaknya di dalam telinga Petra. Perempuan di hadapannya menyunggingkan senyum meledek.

“Lo mau bilang apa tadi?” kedua alis dinaik-turunkan, sengaja memancing apa yang tidak seharusnya keluar.

“Jauhin senior lo.”

“Blahblah.” yang lebih kecil hanya meledek dan berbalik, berniat meninggalkan Petra dan rokoknya yang tinggal setengah.

“Fian.”

Sang pemilik nama menghentikan langkah setelah mendengar namanya disebut dalam geram, melempar pandang ke arah pergelangan tangannya yang dicengkram cukup kuat. Arah pandang kian naik hingga bertemu wajah datar Petra dengan mata tajam gelap miliknya.

“Lo tau gue ga bodoh untuk ga sadar gimana tatapan lembut lo untuk si Asoka siapalah itu kan? Jangan munafik, Petra.”

“Fian sadar hei!” bentak yang keluar tidak berpengaruh barang sedikit pun. Aura dingin keluar dari masing-masing mata yang tengah berperang tatap.

“Lo yang sadar, Pet. You love him! Seharusnya kita kerja sama ga sih? Gue dapat Nalen, lo bisa dapat Asoka lo itu.”

“Dan hancurin kepercayaan yang selama ini susah payah dia bangun buat gue? Jangan bercan-”

Fiany menepis tangan Petra kasar sebelum lagi-lagi menampakkan senyum piciknya. “Hei, wake up. Di dunia yang egois ini, ga semua orang bisa jadi pemenang, Petra.”

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

No responses yet

Write a response