Ponsel ia tinggal di dalam ruangan, bukan kebiasaannya untuk membawa benda persegi panjang itu di kesehariannya. Namun kini penyesalan datang begitu melihat Asoka sudah terduduk di lantai lorong, di depan ruang inap.
“ASOKA!!”
Tidak ada sahutan, yang lebih muda bahkan terlihat tidak berusaha menegakkan kepalanya barang sedikit, atau sekadar untuk melihat langkahnya yang kian cepat mendekat.
“Asoka? Kamu gapapa? Asoka?”
Nalendra terpatung di tempat, melihat mata teduh Asoka berubah kemerahan dengan semburat takut yang sangat terbaca. Kedua bibirnya sedikit terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu, namun tak sedikitpun suara yang keluar dari sana.
Jemari lentik yang pernah menggenggam kepal tangannya kini bergetar hebat, berusaha bergantian menutup telinga dan memegang perutnya. Napasnya memburu dan keringat dingin sebesar biji jagung bercucuran…di tengah gedung dingin itu.
‘Anxiety?’ batinnya terus mempertanyakan apa yang terjadi. Tanpa kata, tangan bergetar itu dituntun untuk menyilang di depan dada.
“Hei…Asoka? Lihat saya. Tarik napas…buang…ulang lagi, tarik…buang…kalau masih takut kamu ulang lagi”
Asoka menurut, beberapa kali menarik napas dan berusaha menenangkan diri dan pikirannya.
“Ayo ke ruanga-” ucapan Nalendra terpotong kilat mata Asoka yang mengarah ke ruang rawat.
Lorong sepi kamar kontrol yang hanya dikunjungi perawat sesekali dan tamu khusus tidak menampilkan apapun pada pandangnya. Tidak bahkan bayang lampu atau suara tapak kaki.
Tidak ada apapun di sana, kecuali bunyi elektrokardiograf.
“Fokus ke saya, kamu ga apa-apa,” telapak tangannya bergerak tanpa komando, bergerak menutup telinga yang muda dari bebunyian yang sekiranya mengganggu dan berusaha mendapat fokus darinya.
“Kamu ga apa-apa….” pandangan keduanya terkunci, dengan jelas Nalendra dapat melihat sekelebat potongan cerita tentang Asoka dan asumsi tentang rasa takutnya. “Kamu ga apa-apa, Asoka…ada saya.”
“Aku ga apa-apa…aku ga apa-apa….” Asoka membeo, napasnya terlihat membaik, pula dengan getar tubuhnya yang semakin samar.
Perlahan keduanya berdiri dan berjalan menjauh, masih dengan Nalendra yang-entah keduanya sadar atau tidak-menggenggam jemari Asoka dan sesekali mengelus lembut punggung tangannya, seolah memberitau bahwa ada sumpah yang tidak terucap untuk menjaganya tetap baik-baik saja.
Makanan yang tak lagi hangat bukan menjadi fokus keduanya. Ada sebuah rahasia yang harus dipertahankan, ada cerita yang harus diulik.
Ada hati yang harus diyakinkan.
Pula ada masa lalu yang harus dilupakan.
“Dok, maaf ya heheh, jadi ngerepotin….” Nalendra tersenyum, masih dengan lembar-lembar laporan di tangannya.
‘Dipanggil “dok” lagi…’ apa batinnya merasa sedikit kecewa? Entahlah. “Ga masalah, salah saya juga, harusnya saya jemput di taman.”
Angguk dilayangkan sebagai jawab atas permintaan maaf yang sebenarnya tidak diperdengarkan. Kini hening menjadi selimut di ruangan dingin yang kian mencair dimakan tatap hangat sang empunya.
“Ngeliatinnya biasa aja dong Dok! Nanti naksir.”
“Sudah.”
“Ya?” tanpa jeda, Asoka memberinya tatap kaget, taku-takut salah mendengar. “Ini, makanannya sudah habis. Kamu bilang apa tadi?”
Benar-benar salah. Pikir Asoka.
“Asoka, saya boleh tanya? Soal tad-”
“Gapapa kok, emang gue aja yang berlebihan.” tawa terpaksa terdengar setelah kalimat bual Asoka.
Tawa yang selalu Nalendra dengar dari keluarga pasien tiap kali koleganya gagal menyelamatkan nyawa, tawa hancur saat mengenang cerita bahagia.
Tawa menyedihkan yang meneriakkan ketidak siapan untuk melepaskan.
“Ngomong-ngomong, prewed diundur jadi hari Kamis.”
“Iya. Tadi saya juga dapat kabar.”
“Asoka-”, “Pak Dok-” tawa keduanya terdengar, gelitik dalam perut yang lama menghilang entah mengapa kembali lagi. Asing yang disambut dengan tangan terbuka, rasa usang yang dirindu sejak lama.
“Kamu duluan.”
“Oh engga, gue cuma mau tanya, kira-kira lo mau tema apa untuk prewed sama pesta?”
“Pesta? saya ga mau ada pesta.”
Kerut di dahi Asoka cukup menjelaskan kata ‘mengapa?’ di dalam kepalanya. “Sayang, Asoka. Lebih baik uangnya untuk keperluan rumah tangga. Toh teman saya ga banyak.”
“Ah, betul juga…temen gue juga ga banyak. Nanti bilang ibun deh. Ngomong-ngomong mantan lo yang mana deh? Gue mau tau siapa sih yang bisa buat lo cinta setengah mati sampai ga mau ambil cuti.”
Ledekan yang dilontarkan tidak ada maksud lebih selain candaan usil pencair suasana. Namun rahang keras Nalendra menampilkan sebaliknya, dia tidak menyukainya.
“Konyol.”
“L-lo … kenapa si? Serem tau, tadi ramah sekarang marah.”
Jatuh cinta adalah perasaan yang indah. Keintiman, kepercayaan, dan ketertarikan membuat seseorang memancarkan kebahagiaan.
Tidak ada cinta bagi si jangkung. Itu yang dia percaya.