Seminggu sudah Asoka hanya mengurung diri di kamar, entah berapa butir obat yang sudah melewati tenggorokannya. Keadaannya jauh dari kata baik, malam demi malam dilewati bersama mimpi buruk yang menemani. Bukan hal baru untuk tidur sendiri, tapi dingin kali ini jauh menusuk ke nadi.
Seminggu pula Asoka tidak membuka ponsel, ah…mungkin jika tidak diisi Bima, ponselnya telah mati kehabisan daya. Di hari-hari pertamanya dialuni nada dering di ponsel, banyak pesan masuk yang…semua tau pengirimnya adalah Nalendra.
Dan Asoka berusaha abai.
Ponsel yang kembali menyala memburu telinganya dengan bising sambut akan pesan yang sempat tak sampai. Dari seluruh tulisan yang masuk, entah mengapa nama Petra yang menarik perhatiannya.
Kata yang Petra rangkai mungkin terlihat biasa, namun kabar yang menjadi topik tanya, bersama berita yang ingin diantar, cukup untuk memberi Asoka sedikit cahaya. Seminggu dilewati dengan kelam, dalam gelap selubung malu, Asoka memutus segala cara hubung diri dengan orang-orang terdekat.
Lebih baik untuk tidak mengenal siapapun. Ada takut di ujung kepala, untuk lagi-lagi disakiti cinta, untuk kembali dikhianati kasih, dan untuk mengulang rasa hilang atas sesuatu yang seharusnya dimiliki.
“Siapa tau dia bawa kabar baik, kak.” pintu kamar terbuka, adiknya berdiri di ambang dengan beberapa makanan.
“Gue takut….”
“Ada Bima, lagi pula kalau dia aneh-aneh nanti dapet sapu terbang dari bunda.” keduanya tertawa, Asoka pada akhirnya setuju untuk menemui Petra dan entah kabar apa yang nanti akan dibawanya.
“Udah minum obat?” di hari-hari sebelumnya, Asoka akan meminta siapapun keluar dari kamarnya jika tak berkepentingan, namun kali ini berbeda, entah mengapa sang kakak merasa membutuhkan adiknya di sisi untuk sementara waktu.
“Belum, kan lo umpetin!”
“Kalau ga gue umpetin, lo bisa over-dosis. Gak ingat lo telan obat sampai enam butir?”
“Gue cuma mau tidur! Salah?!” mata yang muda dikedipkan beberapa kali, merasa bodoh karena membuat sang kakak kembali ke titik rendahnya.
Napas Asoka mulai memburu, Bima sigap meletakkan minum yang awalnya untuk Asoka di sebelah piring kosong yang telah habis isinya. “Ga, ga salah kok, Bima khawatir aja, ga salah kok…tenang…tarik napaaass, buaanggg….” komandonya sembari mengusap punggung Asoka.
Bima sama sekali tidak memiliki ide tentang sejak kapan kakaknya harus hidup berdampingan dengan obat-obatan. Di hari kepulangannya menjadi titik awal bagi Bima untuk kembali mengatur sikap.
“Maaf ya Bim….”
“Heeiii, seharusnya Bima yang minta maaf, kak…Bima gak becus jagain Kak Aso….”
Surat diagnosa yang kala itu Petra berikan dengan jelas menuliskan apa yang tengah dirasakan. Asoka kerap mengalami serangan panik dan stress berkepanjangan pasca trauma. Malam demi malam dihantui masa lalu yang sulit diajak berdamai, dan hari demi hari dilalui dengan gambar yang tidak lebih baik.
Bahkan dosis yang kian bertambah karna faktanya, Asoka didiagnosis depresi. Itu pula yang menjadi alasan suasana hatinya mudah berubah dan dirinya yang kerap meledak-ledak.
“Permisi,. kedua pasang mata teralihkan pada laki-laki di depan pintu, Petra. “Gue chat kalian, ga ada yang balas, jadi gue naik.”
“Apa kabar, As?” percakapan dibuka dengan hangat, Petra yang biasa berbicara seperlunya kini berusaha mendominasi suasana bersama Bima. Topik yang hilir mudik seolah mencoba menghangatkan ruangan di dinginnya bulan Februari.
“Oh iya, tadi lo bilang mau menyampaikan sesuatu? Apa?”
“Gue…bukan sekedar mau tau kabar lo, As. Tapi juga harus sampaikan kabar untuk lo.”
Asoka diam, entah mengapa perasaannya tidak enak. Jemarinya mulai bergerak, beradu satu sama lain dengan gerak yang tidak beraturan. Mata Petra turun, memperhatikan setiap perubahan pola gerak dan ekspresi Asoka. Niat hati ingin membaca situasi, Petra justru melihat lukisan yang berbeda.
Ada banyak garis memerah di pergelangan tangan kirinya.
“As? Tangan lo kenapa-”
“Ga. Gapapa, lo mau bilang apa tadi?”
Delik jatuh pada yang paling muda, tatap hanya dibalas hela napas, tau benar tidak ada yang bisa dilakukan.
“Soal suami lo.” decak terdengar, jelas tidak menyukai arah pembicaraan yang bahkan belum dimulai. “Gue ga peduli.”
“Seminggu ini dia gak ke rumah sakit. Besar kemungkinan demam atau semacamnya, lo ingat malam itu? Setengah jam kemudian dia ada di depan rumah lo, memohon sama bunda untuk masuk.”
“Gue ga peduli, Petra!”
“He knew that he fucked up, dia kalut untuk ngejer lo ke sini sampai lupa di badannya cuma ada kaus tipis. Kabar dia ga lebih baik dari lo…apa ga ada niatan, As? Untuk ketemu dan-”
“Telinga lo bermasalah ya?! Gue ga peduli!!!”
Bima yang ada di sana tidak sama sekali paham harus melakukan apa, selain mengusap punggung sang kakak, “Kak sabar….”
“Lo diem, Bim! Pet, harusnya lo seneng ga sih?! Lo ga suka dia kan? Lo benci liat gue sama dia? Bukannya lo harusnya dukung gue untuk jauh dari dia, ya????”
Petra mendekat, menunduk dan menatap Asoka telak di maniknya yang semakin bergetar.
“Gue ga suka suami Lo, bukan berarti gue mau lihat kalian pisah. Saat lo melantun janji pernikahan, lo bukan hanya janji sama diri sendiri, tapi juga sama Tuhan, As.”
“Bang, mundur woi.” si bungsu mau tidak mau berdiri di antara keduanya, tidak akan membiarkan adanya pertumpahan darah di rumahnya yang damai.
“Lagi pula, lo gak mau dengar dia dulu?”
“Jangan ngelucu.”
Entah mengapa emosinya memuncak saat itu, permen beraroma mint dikeluarkan dari saku, menetralisir rongga mulutnya yang tiba-tiba masam. Petra bisa merasakan emosi menguasainya, entah mengapa.
“Si brengsek itu juga berhak didengar suara dan sudut pandangnya.” ucap santai itu keluar sebelum permen ditangan dilahap. Kakinya melangkah menjauh, ke sudut lain di kamar itu untuk sekadar memainkan barang-barang yang sebenarnya tidak menarik.
“Untuk apa? Buat apa buang-buang waktu cuma untuk dengar omong kosong? Buat apa lagi gue dengar kebohongan yang dia karang? Atau lo suka ya lihat gue dimaini-”
“Lo sadar ga, As? Lo egois.” Asoka membeku, tidak pernah terbayang kata itu akan keluar langsung dari Petra, sahabat terbaiknya.
“Weessss, omongan dijaga, bos!” yang paling muda menunjuk Petra dengan telunjuknya, tidak lagi peduli apakah tingkahnya sopan atau tidak.
“Salah satu penyebab ketidak bahagiaan lo adalah keegoisan lo. Ego yang lo bangun tinggi untuk akhirnya ga pernah berusaha bisa dan bersedia dengar arah pandang orang lain. Dan ketika lo mendengar, semua berlatar belakang terpaksa. Jangan sembunyi di balik mimpi buruk masa lalu, As. Dunia ga berputar untuk lo.”
Bima yang juga merasa tak terima dengan kalimat kasar Petra akhirnya mendekat, mencengkram kuat kerah yang lebih tua dan menatap nyalang. “Gue pernah liat lo habis sama Bang Tama, dan tau titik lemah lo, Bang. Gue ga akan segan untuk ulang itu lagi dengan tangan sendiri.”
Acuh, Petra justru menatap Asoka yang semakin pucat, “Oh iya As, soal ID Line lo, betul. Gue yang kasih ke-”
“KELUAR!”