Dari Kacamatanya

🥀
6 min readMar 26, 2023

25 Februari 2024, Perihal sudut pandang yang belum pernah tampak faktanya.

Kejadian tempo hari dilupakan, ada hal baik yang menunggunya. Setelah bertahun dalam lama tanpa sudah, akhirnya Asoka kembali menemui teman terbaiknya. Puspa.

Tidak sepenuhnya melupakan, karena menurutnya hadir Petra bisa tidak dianggap. Lagi pula ada banyak cerita yang ingin ia sampaikan, terlalu banyak hingga rasanya malas mengingat apa yang Petra katakan.

“Aso?”

“Kak Puspa!!” dan banyak pula cerita yang ingin dirinya dengar.

“Nunggu lama? Sorry, si Petra telat jemput,” kini ketiganya duduk pada satu meja bundar di sebuah cafe, tepat di depan taman bermain yang dahulu selalu mereka kunjungi setiap petang.

“Motor gue mogok.” benar adanya, Asoka benar-benar mengabaikan Petra. “Kak, katanya dokter ya lo sekarang? Astaga, bagian apa? Gimana sih rasanya jadi dokter? Gue selalu mau nulis cerita tentang dokter tapi ga bisa, karna ga tau jad-”

“Divisi bedah ortopedi dan traumatologi, senior suami lo di rumah sakit. Ga bisa kenapa? Suami lo dokter hebat, tanya aja dia, pasti dengan senang hati dia jelasin.”

“Sesenang hati mendua sama kolega? Fiany, kolega lo juga kan, kak? Berarti lo tau?”

Hening. Asoka mendengus dan berdiri, sia-sia rasanya. Karena lagi-lagi bahagia disambut dengan kecewa.

“Gue ke sini mau minta maaf, As.” Asoka yang bersiap untuk pergi akhirnya mengurungkan niat, kembali duduk dan terdiam, menatap teh hangatnya di meja.

“Sebelum itu, boleh gue berkisah? Anggap aja bayaran dari janji gue untuk cerita banyak setelah dari Jepang, gimana?”

Asoka hanya mengangguk, berbeda dengan Petra yang sibuk dengan ponselnya. Sudah kehilangan minat sejak tadi.

“Judulnya ‘Dari Kacamata Nalendra Kalanath’ bagus kan?”

“Gak ada cerita lain?” terdengar dengan jelas ketidak sukaan dalam nada bicaranya, Puspa hanya tersenyum sebelum akhirnya Asoka mengucap kalimat yang tidak seharusnya dirangkai. “Buat apa bahas dia, lagi pula gue udah kirim surat cerai kok.”

“LO APA?????” suara sang sahabat meninggi, Petra yang sedang minum ikut tersedak, tanpa sadar membanting gelas kopinya ke meja.

“Asoka…kenapa gegabah….”

Asoka tertawa lepas, dirinya? Gegabah? Silahkan katakan itu pada calon-mantan-suaminya. Asoka muak untuk selalu mengalah dan seolah-olah yang paling lemah. Mereka yang mengatakan sudah saatnya Asoka berdiri di atas telapak sendiri, tapi kenapa mereka yang terkejut saat dituruti?

“Gegabah??? Gue mau bernapas lega, gue mau bahagia, gegabah??”

Puspa tidak dapat mengatakan apapun, pertemuan pertama mereka benar-benar kacau.

“Jangan menyimpulkan sesuatu yang sebetulnya gak lo tau, As….”

“Gak tau apa? Soal dia yang punya simpanan? Dia yang prioritasin Fiany, ajak ke cafe jalan dengan alasan cari interior, dia yang-”

Satu persatu kemarahan yang Asoka lempar ke wajah Nalendra malam itu, akhirnya tumpah kembali. Dengan berhati-hati Puspa dan Petra mendengarkan. Air mata yang tanpa sadar ikut terjatuh pun diusap kasar dengan punggung tangan.

“Tama bilang, gue harus ikhlas. Petra bilang gue harus bisa ngerti dan terima. Kak Purna bilang gue harus berkorban. Semuanya udah gue lakuin!! Semua, Kak! See what i got?!!”

“Belum, belum semuanya. Lo lupa tentang kominukasi…gue tanya, setahun ini, seberapa sering kalian diskusi serius soal hubungan kalian?”

Asoka terdiam, begitu pula dengan Petra yang akhirnya menaruh perhatian.

“Gak pernah? Itu alasan Gue mau minta maaf. Lo tau siapa yang sebar ID Line lo?”

“Petra- tunggu! Lo tau dari mana?!”

“Yang kirim lo foto setiap hari, itu gue. Sebentar! Sebelum lo marah, gue mau jelasin dulu. Gue tau cara gue salah, itu kenapa gue mau minta maaf. Tapi ga ada cara lain lagi supaya kalian berdua bisa saling bicara, Asoka….”

Petra menunduk, mengepalkan tangannya kuat di paha. Menahan segala luapan emosi yang bisa kapan saya menguasai diri “Orang gila….” bisiknya tanpa sadar terucap. “Lo…tau, Pet?” Asoka pada akhirnya menganggap hadir sang sahabat, bercicit takut menunggu jawaban.

Gelengan didapat, kepalanya kembali terangkat, menatap manik Asoka yang- bingung? Takut? Panik? Marah? Sedih? Entahlah. “Engga. Gue kasih ID lo karna dia bilang mau kasih kabar ke lo lewat Line…perempuan sinting.” jika mata bisa membunuh, mungkin Puspa telah jadi jasad karena Petra.

“Itu termasuk kabar kan? Maksud gue- lebih sinting mana sama sepasang suami, yang terjebak di kesalah pahaman kecil, dan dibiarkan untuk terus salah paham?”

Dan saat itulah, kisah yang berjudul “Dari Kacamata Nalendra Kalanath”, akhirnya dimulai.

“Waktu dia di cafe sama Fiany, sebelumnya dia sama gue. Dia mau tau semua tentang lo, dia bahkan tanya pertanyaan sakral tentang kenapa nama keluarga lo dan Bima beda. Apa lo tau, As, di rumah sakit, setelah kalian menikah, ga ada hari di mana dia ga cerita tentang lo. Lo yang maksa minta kerja, lo yang sibuk belajar masak, lo yang suka ngedumel karna kena writer block….

“Dia apa-?”

“Dia jatuh cinta sama lo.” suara kekehan terdengar dari arah berlawanan, Petra dengan senyum remehnya menatap Puspa, ingin membantah apa yang baru terucap. “Omong kosong macam apa?”

“Bukan omong kosong. Soal jalan ke IKEA, Fiany baru pindah rumah, dan kebetulan dia kosong. Fiany bilang dia punya temen yang kerja di bagian design interior, jadi sedikit banyak paham soal itu. Suami lo minta tolong orang yang sekiranya paham, ga lebih.”

“As, gue datang ke pernkahan kalian berdua, duduk di bangku paling belakang karna masih harus kejar shift. Tadi lo bilang suami lo mesra-mesraan di ruang pengantin…itu salam perpisahan, Asoka, ga lebih dari pelukan seorang kakak yang mau lepas adiknya untuk ngerantau, gue sempat ada di ruangan itu juga….” semua masih diam, manunggu Puspa melanjutkan entah kisah apa lagi selanjutnya.

“Perpisahan…Nalen izin untuk ke RS waktu masih cuti, sehari setelah kalian menikah, lo ingat? Nalen cerita dia ga dapat izin untuk ke RS.” pertanyaan Puspa hanya dibalas anggukkan, kepala Asoka benar-benar kosong, namun ramai di saat yang bersamaan.

“Nalen kena Penalti. Yang pegang pasiennya selama cuti, salah satu anak baru di RS, karna ‘level’ yang beda, tanggung jawab tetap di Nalen. Singkat cerita, pasien hampir meninggal. Suami lo yang harus tanggung jawab, itu kenapa dia harus ke RS.”

“Tapi kenapa Mas Nalen? Dia gak salah apa-apa??”

“Salah, dia kasih amanah ke orang yang salah. Konsekuensinya, biaya dari pusat untuk penelitian jurnalnya harus diundur satu tahun. Nalen mau daftar jadi profesor, butuh satu jurnal internasional lagi sebagai syarat, tapi gagal…dua hari lalu seharusnya bahas anggaran yang udah setahun ditunda, tapi dia gak ada kabar….”

Dan disaat itulah Asoka menerima kata pahit yang ternyata memang bersarang pada dirinya. Asoka terlalu egois untuk sekadar mau mendengarkan.

“Bener, waktu itu dia mau ketemu Fiany, tau kenapa? Salah satu penaltinya adalah dia harus dipindah tugas, ke Sulawesi. Tapi dia gak mau ninggalin lo sendiri, Asoka…he thinks about you a lot. Akhirnya Fiany mengajukan diri, akhir bulan ini dia yang berangkat ke pulau sebrang.”

Hening yang sesaat menyelimuti digunakan untuk melepas dahaga. Rasa haus dari yang terus berbicara, haus dari yang baru saja ditampar fakta, dan haus dari yang…mematung di sana.

“Soal booking hotel, itu untuk Fiany sebelum hari penyambutan dan pengesahan di rumah sakit Sulawesi. Suami lo yang bertanggung jawab atas laporan pembiayaan. Dan terakhir…bekas ungu itu-”

“Duh mulut gue asem!” selak Petra, mengerti bahwa peristiwa terakhir itulah yang membuat Asoka tak nyaman, peristiwa yang membawanya ke titik terendah.

“Setelah makan malam sama kepala divisi baru, beberapa anggota mabuk berat, termasuk Fiany. Nalen antar dia pulang, sampai di rumahnya…ini agak konyol, tapi apa adanya. Leher suami lo dipukul gagang sapu. Ibu Fiany kira suami lo yang buat anaknya black out dan berniat macem-macem, padahal dia cuma antar pulang…sisanya lo tau.”

Asoka tidak akan berbohong, dirinya masih mencintai Nalendra, namun wajahnya tidak setebal itu untuk ditampakkan di depan suaminya. Tidak setelah dirinya memaki dan mengirim surat cerai.

“Satu-satunya kesalahan Nalen adalah, dia ga cukup tegas untuk bersuara dan buat semua hubungannya jelas. Dia pikir dengan bilang ke Fiany kalau kalian akan menikah, hubungan mereka secara otomatis selesai. Dan dia juga pikir, dengan dia yang bilang kalau Fiany cuma kolega, lo ga akan sebegini salah sangka. Dia kurang tegang sama sikapnya, cuma itu kesalahan Nalen, As….”

Sedari tadi, hingga saat ini. Ponsel Asoka terus bergetar dari panggilan dan beberapa pesan masuk. Bahkan menghapus atau memblokir nomor itu, Asoka tidak sanggup.

“Jadi…Fiany yang suka si dokter, bukan sebaliknya?” Petra ikut terpekur, matanya juga menatap ponsel Asoka yang tidak berhenti menerima rangkai kata.

“Soal itu…gue ga tau. Diluar makan siang, jarang bisa ketemu Fiany, selain karna dia divisi bedah saraf, dia juga sibuk untuk pindah tugas akhir bulan…dan ya! Demikian kisah berjudul…judulnya apa tadi? Entahlah, ada yang mau bertany- ASTAGA SIAPA SIH, AS??”

“Mas Nalen….” cicit Asoka sembari memberikan ponselnya pada Puspa, menyilahkan sahabat kecilnya membaca semua pesan dari suaminya.

“JAWAB DONG ASOKA RAHAR- salah, ASOKA KUNCORO…kan Gue bilang, KO. MU. NI. KA. S-eh? Dia minta lo pulang…sampai memohon begini loh, As…”

“Biari-” kali ini Petra yang menyambar kalimat Asoka, “Ya ga bisa ‘biarin’ lah, As! Gimana mau selesai masalahnya??”

“Gue udah ga punya muka, Petra!! Setelah semua tingkah gue, yang- astaga- gue…ga mungkin ketemu Mas Nalen. Apalagi harus dijemput…gue ngerepotin banget ya….”

“Nalendra Kuncoro bukan tokoh antagonis di cerita fiksi lo, As. Kalau lo ga mau dijemput dia, gue yang antar. Pilih sekarang.” dan argumen Petra disetujui Puspa.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

No responses yet

Write a response