Dua Pemuda

🥀
8 min readFeb 26, 2023

5 Februari 2023, Dalam masa lalu yang memburu

Di malam dingin, kembali pada sisi lain kota yang berdiri sebuah rumah sederhana di antara pemukiman lainnya. Penghuninya tidak mengetahui ketegangan apa yang ada di seberang, keputusan berat apa yang akan diambil, hingga bagaimana hidupnya akan berlanjut.

Seorang Asoka, benar-benar tidak memiliki sedikitpun ide tentang itu.

Ketuk di pintu kamar menyapa senyap yang sedari tadi menemani, pemilik kamar hanya mendengus tanpa menjawab. Ketukan lain datang menyusul setelah hening seakan pamit dari sana. Ketukan yang ketiga datang bersama dengan kesabaran Asoka yang pergi dan emosi yang memuncak.

“GUE BILANG JANGAN GANGGU!!”

“Ini gue, Petra.” tak ada lagi sahutan dari dalam, tangan sang tamu untuk sekali lagi terangkat. Namun belum sempat kepal bertemu daun pintu, suara kunci lebih dulu terdengar.

“Mau apa?” suara serak Asoka dan wajah memerah juga mata sembabnya menyapa Petra. Ada sedikit perih melihat yang lebih tua jatuh dari diri sendiri.

Terakhir Petra melihat Asoka hancur adalah belasan tahun lalu, melihat bagaimana hari-hari terberat dijalani Asoka yang pandangannya semakin kosong dimakan sesal.

“Mau pura-pura tolol lagi, dengan balikin jaket lo yang ketinggalan di mobil. Sekalian ngajak makan malam karna kebetulan gue juga belum makan dan ada wangi makanan dari dapur.” sambar Petra enteng.

“Dari sekian banyak bakat, kenapa pura-pura tolol yang lo kembangin sih, Pet?” Asoka tertawa, tanpa sadar membawa senyum dan lega di rongga dada lelaki di hadapannya.

“Terkadang orang sedih cuma mau ceritanya didenger tanpa si telinga berubah jadi mulut karna terlanjur paham akar masalahnya, iya kan?”

Senyum Asoka mengembang untuk sekali lagi, mengambil dan meletakkan sembarang jaketnya yang sore tadi tertinggal di mobil. Dengan langkah yang masih berat, dan kepala yang berdenyut hebat karena tangis tak berkesudahan, perlahan Asoka mengekori Petra yang lebih dulu menuju dapur.

“Makan, As. Anggap aja rumah sendiri.” canda Petra yang dibalas tepukan di punggungnya.

“Hahahah! Sialan lo, ini emang rumah gue!!”

Dua pemuda di satu meja, saling melempar tawa dan sejenak melupakan masalah yang ada. Makanan di piring habis, pun topik yang tidak bisa diisi kembali.

Kenyamanan dalam diam dinikmati, alun percik air dari wastafel menemani keduanya yang sempat hanyut dalam pikir masing-masing. Hingga yang lebih tua memutuskan tuk kembali membuka suara.

“Petra, Gue boleh cerita?”

“Silahkan, i’m all ears.”

“Tapi sebagai diri lo yang asli, sebagai Petra yang selalu lurus pikirannya, yang bisa berpikir dengan logika terbaiknya. Bukan Petra yang jago sandiwara seolah ga pernah tau ada masalah apa dengan dunia…bisa?”

Petra tersenyum, pada Asoka yang berdiri menghadapnya setelah selesai urusan dengan piring-piring di wastafel. Sang tamu menepuk lembut meja makan seolah mengundang pemilik rumah untuk duduk di hadapannya, “Apapun yang lo butuhin, As.”

“Gue dijodohin, dengan alasan yang bener-bener ga masuk akal.” Asoka membuka mulut, berjalan mendekat dan duduk di seberang meja, tepat berhadapan dengan tamunya.

“Gue marah, ga bisa maafin…entah siapa. Mungkin mereka? Tapi mungkin juga diri gue sendiri. Petra, jujur, apa gue salah?”

“Karna marah?” Asoka mengangguk, mengiyakan pertanyaan yang lebih muda. “Marah itu salah satu bentuk emosi paling alami dari manusia, ga salah untuk lo marah.”

“Jadi, salah mereka yang ngatur perjodohan ini?”

“Ga juga.” singkat. Terlalu singkat hingga rasanya Asoka tidak mengerti sama sekali.

“Semua skenario bodoh ini dimulai tahun 1990-an.” mengerti sinyal yang diberikan Asoka, Petra memajukan tubuhnya dan meletakkan kepal di meja, memberi isyarat pada pembicara bahwa fokus sepenuhnya diberikan.

“Ada dua pemuda rantau di ibu kota. Yang pertama ada di umur hampir 30, pebisnis muda yang berusaha lebarin usahanya di kota orang. Satu lagi, pemuda yang baru di pertengahan 20nya, ngadu nasib jadi supir taksi konvensional.”

Petra belum mengerti, namun tetap diam dan memberi Asoka kesempatan untuk terus berbicara. Dirinya berdiri dari kursi untuk mengisi gelas yang telah kosong, berjaga apa bila sang pembicara mulai mengering tenggorokannya.

“Dua pemuda, satu tekad. Usaha sekeras yang dibisa untuk menghidupi keluarga. Tapi, Pet, lo tau ada apa di ibu kota, terutama tahun…98' kan?”

“Kerusuhan. Sama, seluruh kota-kota di negara.” cicit pelan Petra dibalas anggukan.

“Bringas aparat waktu itu ga pandang bulu, mahasiswa atau pekerja, warga lokal atau perantau, semua kena. Termasuk si pebisnis muda yang entah gimana terjebak antara lemparan batu warga, juga peluru tajam aparat.

Darah ngalir dari kepala karna batu, dari lengan kanan karna peluru. Membabi buta, aparat dan warga saling kejar tanpa alasan, bahkan pebisnis muda udah pasrah dijemput ajal. Tapi tiba-tiba, ada pemuda lain, sedikit lebih muda dan bawa dia pergi secepatnya.

Itu si supir taksi, ngerasa persetan sama lampu kiri belakang yang hancur dimakan peluru, atau badan taksi yang lecet karna lemparan batu. Singkat cerita, si pebisis muda sampai di rumah sakit dan selamat. Dokter bilang luka tembaknya belum sampai infeksi, jadi ga ada perkara yang terlalu serius.”

Petra masih diam, begitu juga Asoka yang seakan menunggu tanggapan Petra tentang cerita pendeknya yang seakan menarik keduanya itu ke tengah kerusuhan tahun lampau, dan melihat harapan dari mata dua pemuda di sana.

“Gue…ga bermaksud pura-pura tolol, tapi gue belum lihat titik terang hubungan cerita lo sama perjodohan lo, As.”

“Hutang nyawa.”

“Ya?” dahi Petra mengerut bingung, “Si pebisnis punya hutang nyawa.” yang lebih muda membulatkan mata, menerka apakah hutang itu yang membawa Asoka pada tangis tanpa akhir.

“Karna itu?” sedikit berpikir, Asoka memiringkan kepalanya, menatap Petra dalam dan menjawab, “Itu akarnya, tapi bukan itu.”

“Jadi?” Asoka menenggak air yang sempat Petra ambil, sebelum menarik napas dalam dan menceritakan kembali apa yang ibunya ceritakan sebelum ia mengurung diri di kamar.

“Si pebisnis yang berhutang nyawa akhirnya mutusin untuk beri sedikit modal usaha ke si supir taksi. Awalnya berhasil, tapi tanpa latar belakang bisnis, usaha yang dibangun akhirnya bangkrut. Pebisnis yang udah investasi cukup banyak ikut rugi besar. Itu ga dipermasalahin, karna buatnya hutang nyawa lebih dari sekedar investasi yang bisa ditanam dan dibangun lagi. Tapi ga bagi supir taksi yang ngerasa ikut rubuhin ekonomi sahabat barunya. Singkat cerita dua pemuda saling merasa punya hutang dan cari jalan tengahnya.

Keputusan diambil setelah dua keluarga ketemu beberapa tahun setelahnya. Perjanjian awal, jodohin anak bungsu dan sulung mereka yang jarak usianya dua tahun, sekolahin mereka dan bagun istana ekonomi. Yang mereka percaya, keuntungan bukan cuma untuk mereka, tapi juga istri, anak, dan masa depan semua pihak yang terlibat. Ya…seenggaknya itu yang mereka pikir.”

“As…wait….” dengus terdengar dari si pencerita, Petra dengan jelas melihat bagaimana jengkelnya Asoka saat itu, “I know!!! Sebagai penulis juga gue rasa fiksi remaja yang ditulis anak SMP di aplikasi W itu lebih masuk akal!”

“Secara logika, hutang keduanya udah sama-sama lunas kan?”

Petra berdehem, menyadari komentarnya sama sekali tidak membantu. Ah…dirinya benar-benar jauh dari kata pandai dalam persoalan ini.

“Ya … Gue sih ga ngerti soal itu.” enteng Asoka. Pertanyaan Petra selanjutnya adalah perihal dua keluarga selama puluhan tahun, cerita yang hampir ditutup akhirnya terbuka kembali…namun dengan akhir tanda tanya.

“Entah, gue juga bingung…kalo betul perjodohannya sejak umur gue- entah berapa umur gue waktu perjanjian dibuat?????? Astaga Tuhan…kenapa bisa gue ga pernah tau soal keluarga mereka. Kata bunda juga perjodohan pernah hampir batal, tapi ga jadi….”

“Kenapa?” Asoka menggeleng kali ini, tidak juga mengetahui apa alasannya. Ibunya memutuskan untuk tutup mulut dan saat itulah Asoka meninggalkan tiga anggota keluarganya untuk mengisolasi diri dan menangis di kamar.

“Menurut lo, Pet, mereka salah?”

Nope.” kerut di dahi Asoka menandakan ketidak sukaannya atas jawaban Petra, yang menurutnya sama tidak masuk akalnya dengan cerita panjang yang baru ia rapal.

“As, semua orang tua mau yang terbaik untuk anaknya, dan itu ga salah. Alasan masa depan, dengan bangun relasi orang dalam sejak awal, seolah tau di masa depan dunia bakal semakin individualis dan kapitalis, itu semua bener, As….”

Asoka jengah, dirinya memang meminta Petra untuk berpendapat, tapi bukan ini ekspektasinya. Dalam diam dirinya kembali ke kamar, merebahkan diri di ranjang seolah tidak peduli pada Petra yang mengikutinya dan duduk di bangku meja kerjanya.

“Tapi orang tua bukan Tuhan yang berhak nyetir hidup anaknya, seakan mereka tau betul apa yang bakal terjadi di masa depan. Gue juga setuju itu.”

Asoka yang semula berbarinng memunggungi Petra, kini berbalik dan menatap Petra yang sibuk membaca cacatan kerja Asoka yang tergantung di tembok.

“Lo jadi ngelamar kerja, As?”

“Iya, dan si rese itu ga setuju.” dan ‘kenapa’ menjadi pertanyaan Petra selanjutnya yang dijawab dengan dengusan.

“Ga tau. Mungkin supaya gue ga keluar rumah jadi dia bebas berduaan sama pacarnya yang kemarin.” Petra terdiam dan beranjak. Mendekat untuk duduk di sisi ranjang Asoka.

“Petra…menurut lo, apa yang harus mereka lakuin, dan yang harus gue lakuin? Karna yang gue simpulin dari kalimat tadi…lo beranggapan ga ada yang benar dan salah kan?”

“Iya. Menurut gue ya? Lanjut aja.”

“Kenapa?” Petra tertawa melihat ekspresi jengkel Asoka, sebelum melanjutkan, “Alasan perjodohannya emang ga masuk akal, tapi niat dan rencananya pas di logika. Jadi kenapa engga?”

Asoka berdecih dan mendudukkan dirinya di sebelah Petra, menatap yang muda lekat. Ada gelap di matanya yang sama sekali tidak tertembus oleh Asoka. Mata yang sama seperti pertama Asoka mengunci pandang pada mata Nalendra.

Dan Asoka berani bersumpah bahwa dirinya membenci fakta mengenai dia yang entah bagaimana terbesit sosok Nalendra dalam benaknya.

“Satu, gue ga kenal mereka. Gue sama sekali ga klop juga sama si dokter rese, dan bisnis kan bisa dibangun tanpa perjodohan? Emangnya gue Siti Nurbaya?!”

“Waktu itu lo bilang hal yang sama, waktu Purnan nembak lo. Inget? Lo bilang ada senior rese ga jelas yang lo ga kenal dia siapa, selain kakel yang sering basketan di lapangan, mau jadi pacar lo.”

Asoka terdiam, memutar kembali memori saat pertama kali dirinya mengenal Purnama. Tidak banyak perbedaan selain Purnama yang lebih terbuka dan mudah dibaca. Tidak seperti Nalendra yang selalu diam dan seolah mengunci isi kepala untuk dirinya sendiri. Serupa, tapi tak sama.

“Lo…segitunya mau gue nikah sama orang yang…bahkan kami sama-sama ga cinta? Petra…gue baru kehilangan rumah setelah dipaksa angkat kaki, dan kemarin- lo liat dia kan? Yang seharusnya jadi tempat gue pulang, pergi begitu aja bahkan sebelum gue sempat memilikin. Gue…ga siap untuk lagi-lagi patah hati, Pet.”

Mata berkaca Asoka secara tiba-tiba menjadi titik lemah Petra. Yang lebih muda memeluknya dalam dan mengelus pucuk kepala, mencoba menenangkan.

“Percaya atau ga, gue berkali kehilangan orang yang gue kira bisa untuk gue jadikan pelabuhan.” Petra melepas pelukan, menatap Asoka yang dalam diam meneteskan air mata. Tangan Petra yang sebelumnya ada di punggung dan kepala kini berpindah, mengelus kedua pipi basah Asoka yang entah sejak kapan semakin tirus. “Sayangnya mereka cuma kapal yang sekedar singgah untuk akhirnya pergi lagi. Asoka…gue paham. Terlalu dan terlanjur paham.”

Tubuh Asoka bergetar dihantui rasa takut. Tatap keduanya masih terpaut, kini kepal tangan keduanya pun demikian.

“Tapi, Asoka. Lo yang selalu ajarin gue, tentang opsi dan pilihan yang bisa diambil di setiap persimpangan jalan. Arah mana yang mau lo ambil, As? Arah manapun, lo harus siap dari lika-liku bahkan terjal rusak jalan.”

Asoka tersenyum, melepas genggam dan menghapus air matanya sendiri. “Gue ambil tengah, gimana? Keluar dari jalur dan ngelangkah sesuai keinginan gue.” canda Asoka kemudian.

“Artinya lo siap kalo nantinya hilang arah dan berujung sama sekali ga ketemu rumah?”

“Sama aja kan? Kalo gue salah pilih jalan juga gue bisa aja kehilangan rumah.”

Petra berdiri, menggeleng dan bersiap untuk pulang. Tak terasa sudah tengah malam, “Ga juga. Balik ke kalimat gue tadi soal kesiapan lo menghindar dari lubang, atau rem waktu lo di lika-liku dan turunan terjal jalan. Selama lo ga lepas kendali, lo pasti berujung di rumah. Tujuan lo rumah dan lo akan sampai. Meski mungkin harus salah alamat dulu…As, gue pamit ya.”

“Lo beneran mau gue nikah ya?” Asoka mengulang pertanyaan sebelumnya, sekaligus mengantar Petra hingga teras rumah.

“Gue….” terdiam sebentar, Petra manatap Asoka lamat dan tersenyum, “Gue ga akan bilang iya, tapi gue juga ga bisa bilang engga.”

“Kenapa? Kenapa ga bisa? Kenapa seakan lo takut? Lo pernah kehilangan rumah? Lo ga pernah cerita.”

“Pernah. Bahkan sekarang, As. Saat ini gue kehilangan rumah yang selalu gue jaga. Udah, masuk sana, tidur, banyak angin di luar.” dan Asoka tidak akan berbohong tentang kilat perih yang tergambar dalam senyum Petra saat itu.

“Gue tunggu lo jalan aja.”

Mobil dinyalakan, sabuk dipakai dan Petra keluar pekarangan bersama mobilnya. Tersenyum dan melambai pada Asoka yang kantuknya entah sejak kapan menyerang.

“Terkadang yang dibutuhin dalam hubungan itu kesempatan, keikhlasan, sama pengertian, As.” ucap Petra yang terdengar di dingin dan senyapnya malam, sebelum akhirnya pergi dan hilang di balik lampu jalan, bersama Asoka yang menutup pagar dan masuk dalam bangunan hangatnya.

Dua pemuda akhirnya terpisahkan malam. Dan mungkin, yang lebih muda benar.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

No responses yet

Write a response