Ego dan Rasa

🥀
4 min readFeb 26, 2023

6 Februari 2023, Di bawah atap dan dalam rengkuh tatap

Asoka menatap sengit pria jangkung yang berdiri di pintu rumahnya. Moodnya baru saja bagus setelah melampiaskan emosi pada lembar buku hariannya. Ya, Asoka masih menulis di buku harian, terapi kecil untuk meluapkan emosi yang tidak bisa disuarakan dengan lisan.

“Mau apa?” pertanyaan yang sama seperti yang Asoka layangkan pada Petra tadi malam.

Aneh. Hanya itu yang Asoka rasakan.

“Saya mau minta maaf.” Asoka mengangguk dan tersenyum, “Oh, orang kayak lo bisa minta maaf juga ya? Gue kira ego lo setinggi langit.”

Nalendra, laki-laki yang sedari tadi berdiri di ambang pintu menurunkan sedikit harga dirinya, untuk bersedia di maki dan dicemooh calon suaminya…bahkan dalam keadaan babak belur.

“Lo masuk deh.” hanya itu yang Asoka katakan. Merasa skakmat dari hening yang ada, membuatnya menyadari betapa dirinya juga memiliki ego yang terlampau tinggi.

“Nak Nalen, masuk nak! Mau minum apa?” melihat orang rumah menyambut calon suaminya dengan riang, Asoka memutar bola matanya dan menaiki tangga. Masuk ke kamarnya tanpa suara.

“Selamat siang, bunda. Ga perlu repot-repot…ehm…Asoka ke mana ya bun?” setelahnya, Nalendra mengagguk atas arahan Bima tentang di mana letak kamar Asoka yang pintunya terbuka.

“Saya boleh masuk?” Asoka masih diam, namun mengangguk menyilahkan.

“Duduk.” Nalendra menurut, duduk di ujung kasur Asoka dan menunggu sang pemilik kamar membongkar lemarinya.

“Jangan bilang ke gue itu udah diobatin, karna gue yakin belum.”

“Mata kamu juga belum dikompres kan? Masih bengkak.” mendengar apa yang Nalendra katakan, Asoka berdecak tak suka. Yang lebih muda menarik kursi kerjanya untuk duduk mendekat.

“Berantem di mana lo?”, “Di rumah.” jawab Nalendra singkat. “Papa?” Nalendra memejamkan mata, tidak menjawab pertanyaan yang dilayangkan ke arahnya dan fokus pada perih yang menggelitik di wajahnya.

“Pelipis, tulang pipi, ujung bibir…lo ngapain sih sampai begini? Lo sendiri yang waktu itu cerita papa kerasnya bukan main!”

“Saya minta batalin perjodohan.” kerut di dahi Asoka menjadi pertanyaan selanjutnya, dan Nalendra tau jawabannya.

“Sudah selesai? Terima kasih. Soal itu…kamu yang mau pernikahan kita batal kan? Saya sudah buat semua orang kecewa, termasuk kamu. Jadi mungkin itu yang terbaik?”

“Konyol.” satu toyor mendarat di kening Nalendra, sukses membuatnya meringis. “Lo bilang di awal lo juga sama sekali ga setuju kan?! Kenapa jadi karna gue?”

“Iya, di awal.” Asoka berbalik menatap Nalendra setelah berdiri dan meletakkan kembali kotak P3K ke lemari. “Kalau saya bilang…entah kapan persisnya, tapi saya setuju untuk menikahi kamu, kamu percaya?”

“Setelah ngeliat lo mesra-mesraan sama pacar cantik lo di IKEA? Gila ya? Hahahah! Tapi gapapa, gue maklum kok.” Nalendra membuka mulut, berniat membantah namun Asoka lebih dulu menyambung kalimat.

“Gue sadar gue juga salah, ego gue juga terlalu tinggi untuk ngaku. Terlalu memposisikan diri sebagai orang paling menderita, padahal lo juga ga bahagia, gue rasa. Lo udah denger cerita lengkapnya?”

“Sudah, mama ceritakan tadi pagi.”

“Kak…gue minta maaf, gue ngerti lo masih dan mungkin akan selalu benci tingkah kekanakan gue yang egois dan terkadang ga rasional, karna gue juga belum bisa maafin lo yang kemarin.”

Nalendra diam, mengalah meski rasanya tidak terima kejadian kemarin terus diungkit calon pendamping hidupnya.

But a greatest friend of mine told me, yang kita berdua butuhin sekarang itu kesempatan dan kepercayaan. Lo…percaya gue, kak?” yang ditanya ikut berdiri, berhadapan dan sedikit menunduk, menatap Asoka tepat di retina.

“Saya selalu percaya kamu, Asoka.”

Keduanya tersenyum. Untuk pasangan yang bertengkar sehebat letusan krakatau, cara mereka menyatukan dua hati jauh lebih halus dari tenangnya desir pasir pantai. Ombang-ambing perjalanan kisah keduanya jauh dari kata mulus.

Namun kuat keduanya akan menyatukan mereka dalam bahagia.

Mungkin.

“Soka.” sedikit langkah Nalendra ambil, untuk mendekat dan memeluk Asoka yang mematung. “Terima kasih.”

Dagu si jangkung dengan pas berada di pucuk kepala yang lebih muda, sesekali mencuri hirup aroma menenangkan yang merebak dari tubuh Asoka. Tuan rumah yang akhirnya menyadari tentang apa yang sedang terjadi akhirnya kembali pada kenyataan.

“APA LO PELUK-PELUK??! LEPAS GA!! BUNDAAA BENERAN BATAL AJA DEH NIKAHANNYA!!!! GA MAU NIKAH SAMA ORANG MESUM!!!”

Baik ayah, bunda, bahkan Bima hanya tersenyum di lantai bawah saat mendengar teriakan dan tawa dari keduanya. Lega mereka menemukan jalan keluar.

“Besok ada rencana?”

“Ada.” tanpa mata ke arah lawan bicara, Asoka sibuk menikmati awan yang terlihat jelas dari jendela kamarnya. Menjawab acuh tak acuh, setelah keduanya kembali tenang.

“Rencana apa?”

“Emang kenapa?” bukannya menjawab, pemilik kamar justru menyerang balik sang tamu dengan pertanyaan.

“Saya mau ajak kamu ke apart, beres-beres barang yang sudah dibeli. Mungkin ada yang kamu ga suka, bisa kita langsung ganti.”

“Ganti gimana?” heran dengan ringannya lidah Nalendra, Asoka menegakkan badannya dan duduk di kasur, di sebelah Nalendra.

“Ya…beli baru?”

“Enteng banget ucapan lo!” Nalendra meringis akibat-sekali lagi-toyolan Asoka di pelipisnya yang memar. “Trus barang yang udah lo beli mau dikemanain? Buang?!”

“Sumbangin, mungkin ke panti?”

“Astaga, kak…lo tata aja seminimalis dan efisien mungkin, gue pasti suka. Lagian…gue punya permintaan.”

“Apa?” tubuh membelok arah, tanpa sadar menyentuh lutut satu sama lain.

“Gue mau…mulai hari ini, kita ga ketemu dulu. Sampai hari-H. Gue butuh tenangin pikiran. Bisa kan?” mata dikedipkan beberapa kali, tidak percaya dengan apa yang baru didengar. “Gi..mana?”

“Itung-itung sekalian gue makin tumbuhin rasa buat lo.” Nalendra tersenyum miring, mengulang ‘makin’ yang sempat Asoka katakan. “Maksudnya ‘makin’? Kamu sudah ada rasa buat saya?”

“Lo udah pernah dipukul pakai gagang pel, belum?” geleng, Nalendra tertawa sebelum menjawab, “Kalau gagang sapu pernah.”

“KAK AH SERIUS DULUUUUU!!” tanpa sadar, jemari Asoka menari di udara, melayang hingga akhirnya menangkup kedua pipi Nalendra. Memaksanya untuk fokus, meski rasanya sulit bagi Nalendra untuk fokus. “Gue percaya lo, kak. Lo percaya gue …?”

“Saya selalu percaya kamu, Soka….”

Meski masih terasa aneh, Asoka memilih diam saat Nalendra memegang tangannya yang masih setia berada di kedua pipi sang calon suami. Sedikit meremas kepal untuk memberi tau yang muda, ada kesungguhan dalam kalimatnya.

“Kamu?”

Genggam itu melonggar, seiring dengan gelengan kepala lawan bicara dan tangkup di pipinya yang merosot secara perlahan.

“Entah…tapi, gue mau belajar. Gue mau percaya sama lo, kak. Lo bisa, jaga kepercayaan gue?”

Asoka mengharapkan jawaban pasti.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

No responses yet

Write a response