“Oh jadi ulang tahun Kamu tanggal 18 Desember?”
Basa-basi yang biasanya Nalen benci kini harus ditelan bersama makanan dan lilin malam yang kian menyusut dikulum waktu. Tawa renyah selalu menghias tiap perkataan, berusaha terlihat senang meski rasanya terlalu tampak tidak ada bahagia di sana.
Jam terus berdenting bersama alat makan dan sayup obrolan, di tengah pertemuan singkat yang terlalu padat. Dengan persetujuan singkat, tanggal pernikahan telah ditentukan, tanpa pertunangan, tanpa pendekatan. Tepat di tanggal 14 Februari, dua minggu dari makan malam, dan janji suci keduanya akan diikrarkan.
“Good job.” bisik yang terdengar di telinga si jangkung kala sang papa memeluknya.
“Papa sama mama pulang duluan, Nalen mau ngobrol sama Asoka sebentar, ga apa kan?”
“Ohoo!! Anak jaman sekarang! Gampang sekali akrabnya. Bima, Kamu temenin kakakmu ya, bawa mobil kan?”
“Bawa yah, Bima jagain! Tenang aja, ga akan lecet! Betul, tante?”
Semua orang tertawa. Semua kecuali dua sejoli yang akan terikat menjadi satu sebentar lagi. Hawa tidak mengenakkan menyelimuti keduanya, namun semua orang di sana hanya memedulikan tentang rencana ‘bahagia’ yang menurut mereka berhasil.
“Ayo turun, kita ngobrol di bar.” kalimat singkat akhirnya terdengar di tengah hening yang menemani, meninggalkan Asoka dan adiknya yang tau bahwa sang kakak mati-matian menahan ledakannya.
“Ada pertanyaan?” pertanyaan akhirnya terdengar sebagai pembuka percakapan, saat keduanya telah berhadapan di meja lingkaran yang lebih kecil.
“Hah?” seratus persen Asoka yakin bahwa wajahnya saat itu terlihat cukup…kaget? Bingung? Oh mungkin keduanya.
“Sedari tadi kamu diam, seperti hilang arah…dan sedikit marah.”
Dari belakang punggung Nalendra yang duduk berhadapan dengannya, Asoka bisa melihat layar ponsel adiknya yang bertuliskan “Diajak PDKT, bodoh!” yang reflek membuatnya berdecak.
“Kenapa lo mau? Kita bahkan ga saling kenal.” Asoka tau kalimatnya jauh dari kata sopan, tapi biarlah. Siapa yang tau, barang kali si dokter di depannya ini akan tersinggung dan memilih untuk membatalkan perjodohan.
Namun di luar dugaan, jawaban Nalendra benar-benar di luar ekspektasinya.
“Dari tadi, kenapa kamu cuma diam dan ga berargumen? Keputusan saya bukan urusan kamu, keputusan kamu bukan tanggung jawab saya.”
Demi Tuhan dan seluruh deadline tulisan yang masih belum digarap, Asoka sudah mulai membenci laki-laki di depannya. Menikah pun belum, namun sudah seenaknya, pikir Asoka.
“Maaf? Lo dokter kan ya? Seharusnya pinter-”
“Saya memang pintar,”
“Jangan nyelak! Gini deh, Pak? Om? Dok? Ah ga tau! Pernikahan itu sakral! Ga bisa main-main begini, dengan lo yang ga punya rencana dan manut sama semua keputusan orang tua lo, tandanya lo ga serius! Mau lo bawa ke mana rumah tangga lo?!?!! Lagian nih ya, keputusan lo ya urusan gue lah? Kalo dari awal lo tolak perjodohan ini, gue juga bisa leluasa berpendapat untuk juga nolak!”
“Ucapan kamu barusan buat saya makin yakin kalau saya ga salah pilih calon.”
“Dan ucapan lo enteng banget, seolah-olah ga disetir keluarga.”
Di sisi lain, Bima dan segala tingkah rusuhnya masih sibuk memaki-maki dalam-live report-hati. Asoka kalau sudah marah terkadang tidak sadar ucapan, meski jelas betul Asoka masih menahan emosinya untuk tidak meletup-letup.
“Boleh tolong dijelasin?”
“Jangan munafik, pak dokter. Mungkin orang tua kita ga sadar, tapi gue tau betul lo ga menikmati makan malam ini.”
Nalendra yang semula menyandarkan dirinya pada bangku, kini memajukan tubuh, meletakkan kepalan tangan di meja dan menatap netra Asoka lekat. Dirinya sedang tidak main-main.
“Gue tau lo terpaksa, dok. Lo ga capek, hidup dalam keputusan mereka? Ga capek jadi boneka?”
“Dan kalau saya terpaksa, apa masalahnya buat kamu?”
“Semua lah! Menikah tanpa cinta aja udah salah! Masih tanya???” Asoka menunduk, menopak kepalanya yang seakan mau jatuh dari lehernya, mengacak surai hitamnya kesal.
Udara dingin yang datang entah dari mana tiba-tiba menyelimuti, tawa berat Nalendra seolah menjadi suara menyeramkan malam itu.
“Masih percaya cinta?”
Pertanyaan itu sukses membungkam erangan Asoka dan aktivitasnya mengacak rambut, “Y-ya masih! Gue punya hati kali!”
“Dari satu sampai sepuluh, berapa persentase kamu bahagia karna cinta? Ucapan kamu justru buat semuanya jelas, Asoka. Kamu takut dengan cinta,”
Lagi-lagi hening, bahkan Bima yang tadi sibuk mengetik langsung menghentikan aktivitasnya. Hanya Tuhan yang tau betapa sesak dada sang kakak saat ini.
“Salah.”
“Apa?” Asoka yang semula menunduk kini menatap kembali lawan bicaranya. Mata yang semula teduh kini berubah dengan api amarah.
“Keluarga gue sangat bahagia. Tapi engga untuk pernikahan kita, Nalendra Kuncoro.”
Senyum terukir di bibir yang lebih tua, tanpa sadar melunakkan pandangan Asoka. Meski entah apa arti tatap dan lengkungnya.
“Kamu tau betul arti bahagia dan cinta ya? Kalau begitu ajari saya. Buktikan kalau kamu bisa.”
“Nantangin?! Kita liat aja nanti siapa yang jatuh cinta pertama kali!”
Dari saku, Nalendra mengeluarkan secarik kertas dan pena. Kerut di dahi Asoka bertambah ketika melihat ada materai di sana. ‘Si gila ini mau apa?’ pikir Asoka.
“Sekarang mau kamu apa?” kedua alis Asoka terpaut saat melihat Nalendra kembali bersandar dan siap menulis apapun yang Asoka katakan. “Kenapa juga lo bawa-bawa meterai?”
“Entah, nemu di saku celana. Jadi, kamu mau apa?” pertanyaan yang sama kembali terulang.
Asoka menatap dalam netra Nalendra, menarik napas sebelum akhirnya mengucapkan kalimat panjang yang-
“Pisah. Dengan Lo setuju penikahan ini, artinya lo mau bertanggung jawab atas kata ‘bahagia’, kita buktiin di satu tahun pertama, kalau lo ga bisa mempertanggung jawabkan keputusan lo, gue minta cerai.”
-sinting. Kalimat panjang yang sinting.
“Kak!–” Bima yang hendak protes mau tak mau bungkam, saat Asoka mengangkat jari telunjuknya. Sang kakak serius, meski adiknya itu yakin benar Asoka tidak sadar apa yang baru diucapkan.
“Dan kalau saya yang mempertanyakan kapasitas otak kamu, saya yang salah kan?”
“Lo udah pernah dihajar penulis novel belum?” sewot yang lebih muda. Amarahnya benar-benar di ujung tanduk, ditambah tawa kecil dari lawan bicaranya yang seolah meremehkan apapun yang terucap dari mulutnya. “Toh perjodohan ini ga jelas akarnya. Sekalian aja kita anggap ini kawin kontrak, at least biar orang tua kita seneng dulu.”
“Asoka…kamu sadar kan, kalimatmu soal ‘siapa yang jatuh cinta pertama’ dan ‘cerai di umur pernikahan yang pertama’ itu saling kontradiktif?”