Rumah sederhana di ujung kota telah dibalut rasa khawatir yang terlalu tebal, menghalau telinga dari gelombang suara mesin mobil di depan rumah.
Bantingan pintu rumah terdengar nyaring ke seluruh ruangan yang ada di dalamnya, mengejutkan tiap insan bernyawa yang ada.
“Lo dari mana aja sih kak? Kita semu-”
“Lo diem.” telak, Bima tidak lagi menghalangi sang kakak yang langkah gusarnya telah dibawa hingga ke ruang keluarga. Ruang dimana sang ayah dan ibu sedang menunggu khawatir anak sulungnya.
“Kenapa?” Asoka berusaha setenang mungkin, menyembunyikan suara bergetarnya seolah wajah merah dan air di pelupuk mata tidak menjadi kekhawatiran tersendiri.
“Apa yang kenapa, kak? Kamu kenapa? Sini cerita sama ayah.”
“Kasih kakak satu alasan, kenapa pernikahan bodoh ini harus dilanjutin?” tidak ada yang menjawab, bahkan Bima yang sehari-hari mampu melontarkan guyon pada sang kakak.
“Kami…mau yang terbaik untuk kamu, Aso-”
“Baik??? BAIK??!! Lihat kakak, bun!! Asoka kelihatan baik??!!!!”
Semua orang tersentak, sedari dulu Asoka tidak pernah meninggikan suara.
Satu persatu, manik Asoka menatap seluruh pasang mata yang tidak berani melihat ke arahnya. Tanpa sadar tetes demi tetes air mata yang susah payah dibendung akhirnya tumpah. Tangan Asoka bergetar, merogoh saku dan menunjukkan sesuatu.
Foto dari kertas yang telah usang dimakan usia. Lengkap dengan namanya dan tanda tangan di atas meterai dengan jelas terlihat. Entah kejutan untuk yang ke berapa kali di hari ini, namun kali ini, kejutan yang sama sekali tidak diharapkanlah yang muncul ke permukaan.
“ITU YANG BUAT KAKAK BAIK????”
“Kak Aso, lo-” tangan Bima yang mengelus pundak Asoka ditepis kuat. Tidak ada lagi kata tenang malam ini.
“Lo bisa diem ga?!! Lo tau apa Bim?! Selama ini gue selalu ngalah, gue selalu diem, gue selalu nurut. Capek Bim!!”
Sang ibu sudah terduduk di lantai, manangis sejadi-jadinya. Entah menyesali perjanjian yang telah ketahuan, atau menangisi sang anak yang entah sejak kapan berubah menjadi monster.
“Kamu tenang…ayah bantu jelasin, tapi kamu tenang.”
Asoka mati-matian mengatur napas, berusaha menghilangkan gumpal awan hitam di atas kepalanya. Keempatnya beranjak, duduk di meja makan dan mulai membuka suara.
Kerusuhan yang terjadi di tahun 1998 menyisakan pilu bagi sebagian orang terutama seorang laki-laki yang hampir terenggut nyawanya. Jiwa dan raga selamat, seorang supir taksi menyelamatkannya saat itu. Hutang nyawa. Dibayar dengan modal usaha setelah kerusuhan, namun mengalami kebangkrutan. Dua laki-laki paruh baya akhirnya sepakat mengenai piutang, dan pelunasan yang tidak masuk akal.
Yang tentu, tidak bisa Asoka terima.
“Kalo udah ketemu alasan yang ga konyol dan lebih logis, kakak ada di kamar.”
Masih di bawah langit yang sama, di sisi lain kota, dalam sebuah rumah dengan aksen dominan kayu. Seorang lelaki berjalan dengan hawa berat di sekelilingnya, melewati tiap ruangan untuk menemui yang dituju.
“Ma, pa, ada yang mau Nalen omongin.”
“Silahkan.” ayahnya secara acuh menunjuk satu kursi di depannya. Menyilahkan sang anak membuka mulut dan menyampaikan entah apa yang dirinya bawa.
“Nalen mau pernikahan ini dibatalin.” Nalendra berucap santai bahkan tanpa memindahkan tubuhnya ke kursi.
Tanpa hitungan, baik ayah pun ibunya langsung memijakkan kaki di lantai, berdiri dengan badan tegap seolah berusaha mendominasi seisi rumah.
“Ga! Ga bisa! Pernikahan ini ga bisa dan ga boleh batal!”
“Kenapa? Kerugian saham ga ada apa-apanya kalau dibandingkan hutang nyawa. Masalahnya selesai, apa lagi yang harus dibay-”
Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Nalendra. Sang ibu terperanjat dan perlahan mundur, tidak berani masuk diantara dua singa yang matanya berkobar marah.
“Jaga ucapan Kamu!”
“Apa? Puluhan tahun sudah berlalu, uang papa dulu ga ada apa-apanya kan? Nyawa papa sudah selamat, dan itu hutang paling besar! Pa? Uang buat papa buta? Dunia ini gelap?! Toh kalau itu hutang, kALIAN SELESAIKAN SECARA PRIBADI, JANGAN KALIAN JUAL ANAK SENDIR-”
Satu bogem mentah diterima Nalendra.
“Ah…sudah lama Nalen ga ngerasain ini lagi. Kenapa diam, pa? Tunggu apa? Ayo pukul lag-”
Beberapa pukulan diterima Nalendra hingga tersungkur. Tidak ada perlawanan, tiap pukulan tidak lebih dari cemooh belaka yang membuatnya semakin ingin memberontak.
“Kenapa berhenti, pa? Bukannya itu yang papa mau? Kirim aja Nalen ke akhirat, lagi pula Nalen sudah gagal kan di dunia?”
Sang ayah berjongkok, menatap nyalang anak bungsunya yang kini tak lagi memiliki sedikitpun tenaga.
“Jaga ucapan, Nalendra. Bukan hanya saya yang berhutang, tapi kamu juga. Kamu pikir siapa yang menyelamatkan kamu dari kecelakaan maut waktu itu?”
Hening, pandangan Nalendra yang penuh kebencian secara tiba-tiba kosong. Maniknya memberat, bersama kepala yang tak lagi dapat diangkat. tepuk ringan di pipinya terasa sebelum sang ayah yang kembali berdiri dan pergi dari pandang matanya. Tepat saat itu, sang ibu berhambur memeluk anak bungsu kesayangannya.
“Ma…Nalen minta maaf. Nalen bukan anak yang bisa dibanggain kayak Faren. Nalen gagal, ma…Nalen selalu ngerepotin dan buat ulah…maaf.”
Ibunya menggeleng, masih memeluk Nalendra yang tetap terdiam tidak percaya tentang fakta baru yang diterimanya.
“Papa butuh mama, Nalen gapapa, cuma luka kecil.”
Kecup singkat mendarat di dahi Nalendra. Kecup yang sang kembaran, Farendra, sering dapatkan. Namun tidak dengan dirinya.
Dan sekarang dirinya mengerti ‘kenapa’.
“Mama minta maaf.”
“Bima, kakakmu gimana?”
“Di kamar, bun. Marah sama Bima juga kayaknya.” dengan sedikit pertimbangan, sang ibu meminta anak bungsunya untuk ikut. Tujuan adalah rumah besan, dan Bima tidak bodoh untuk tidak mengetahui apa tujuannya.
“Bima hubungin temen Kak Aso dulu, bun. Kakak jangan ditinggal sendiri.” angguk dari ibu didapatkan sebagai persetujuan. “Iya, nak.”
Detik demi detik berlalu, percakapan di ruang tamu keluarga Kuncoro belum juga dibuka. Hingga gerah menghantui kepala keluarga Ismoyono…atau Rahardja?
“Jadi? Gimana baiknya? Ga sampai hati saya lihat Asoka…tapi perjanjian di atas meterai bukan hal sepele.”
“Saya usul…pernikahan ini dibatalkan saja. Nalen benar-benar hancur.” ibu dari Nalendra masih terlihat menyeka air mata beberapa kali, tidak dapat menghapus bayang sang anak yang babak belur dan merintih meminta maaf.
“Asoka…ga pernah sekecewa ini, dia berhak bahagia atas pilihannya sendiri.” argumen dari ibunda kini ikut bersuara mendukung pembatalan pernikahan.
“Tapi benar yang tadi disampaikan, janji meterai berarti secara hukum sudah terikat. Kita semua pernah muda, keras kepala, membangkang…apa yang menurut kita baik memang belum tentu benar. Tapi kita jelas ga mau sesuatu yang buruk untuk mereka.” opini panjang akhirnya disampaikan oleh ayah dari Nalendra.
“Mereka hanya perlu saling kenal, dan menurunkan ego masing-masing.” lanjut ayah Asoka.
“Saya sudah gagal jadi ibu, saya hanya mau mereka bahagia.” Para ibu jelas khawatir pada buah hati masing-masing. Mengerti benar mereka tersiksa dengan keterpaksaan yang bahagianya dibuat-buat.
“Saya juga gagal jadi orang tua, itulah kenapa saya mau menjamin masa depan mereka. Saya percaya mereka.” berbeda dengan para ayah yang teguh untuk tetap melanjutkan pernikahan. Meski rencana perjodohan dibangun tanpa pondasi yang kuat, tanpa akal sehat dan pikir panjang, argumen keduanya benar.
Mereka hanya belum saling mengenal dan mengerti.
Sejatinya, air dan api dapat bermanfaat bagi satu sama lain, hanya jika keduanya sepakat untuk saling merangkul dan menurunkan ego.
‘Kesempatan dan pengenalan’, atau ‘kesudahan dan perpisahan’ yang harus mereka ambil?
Empat orang yang ada di ruangan terjebak dalam tanda tanya tak berjawab, dalam ragu tak berujung, dan dalam pikir kalut tanpa akhir. Semuanya terjebak dalam keputusan yang sama sekali tidak dapat diambil. Semuanya, kecuali satu orang.
“Kalau menurut kamu bagaimana, Bima?”