Waktu seolah tidak memberikan keduanya kesempatan untuk sama-sama membenahi diri. Asoka yang mendapati banyak karya penulis-penulis muda yang harus dirinya koreksi di sana dan sini, begitu pula Nalendra yang mendapat pasien lebih banyak dari sebelumnya.
Bulan demi bulan dilalui dengan hambar cenderung masam. Definisi yang pernah Asoka paparkan di masa lalunya kini kembali terulang. Mereka tidak lebih dari orang asing yang tinggal di bawah satu atap. Penyesalan itu masih terus menyerang, tentang seharusnya Asoka meminta maaf dan mendengarkan. Atau sesederhana penyesalan dirinya yang seharusnya bisa menerima kata maaf suaminya, bukan malah mendorongnya lebih jauh.
Penyesalan yang digandeng iri setiap melihat keluarga bahagia dengan seorang anak yang tengah tertawa sembari menikmati es krim di musim panas, atau coklat hangat di akhir tahun.
“Kenapa ga ada taksi si….”
Hujan turun lebih lebat dari perkiraan, mungkin menonton ramalan cuaca setiap pagi seperti Lea bukan ide buruk. Tanggal 26 Desember, satu hari setelah orang-orang merayakan natal, kantornya memutuskan untuk menggelar acara makan malam bersama.
Dan di sana lah Asoka, terjebak di tengah hujan badai, bahkan tanpa penghangat tubuh dan jaket tipis seadanya. Makan malam telah usai dan Asoka dengan bodohnya menolak tawaran rekan-rekannya untuk pulang bersama.
“K-kak…aku g-ga bisa pulang….” pesan yang singkat disampaikan melalui telepon sebelum kesadaran diri hilang saat keduanya bahkan masih saling tersambung. Asoka terlalu kedinginan, dan lupa meminum obatnya.
Bukan hal bohong jika Nalendra mengatakan bahwa menggendong Asoka sangat melelahkan. Tubuh atletisnya mungkin bisa dengan mudah mengangkat Asoka, namun dengan bobot tambahan dari pakaian ekstra basahnya? Jangan bercanda.
Malam itu seharusnya menjadi malam hangat untuk kembali membuka hati, memberi kesempatan untuk masing-masing berbicara dan mendengar. Namun entah mengapa dunia selalu memberi celah terburuknya, disaat seharusnya, segalanya baik saja.
“Ganti baju dulu, supaya bisa dikompres…saya tadi masak sup, saya ambil ya? Kamu belum minum obat kan?”
“Ga mauuuu.” di sana lah, di saat itu, untuk pertama kalinya Nalendra melihat Asoka merengek, memeluk tangannya erat. “Sebentar ya, sayang….” setelah beberapa kali usapan di kepala, erat peluk di tangan akhirnya terlepas.
Kaki dilangkahkan keluar kamar, entah apakah ide yang baik atau bukan, yang jelas Nalendra membaringkan Asoka di kamar utama. Meringkuk di kasur besar yang didominasi harum khas tubuhnya, karena tidak pernah ditempati siapapun selain yang tertua.
“Uhm, khm! Asoka? Ah…itu, bajunya diganti dulu.” setelah mengoperasi banyak pasien, jelas bukan kali pertama Nalendra melihat tubuh tanpa busana, namun entah mengapa Asoka membuatnya merasa aneh…malu, lebih tepatnya.
“Kak, jangan kemana-mana….” dengan sisa tenaga yang ada, Asoka menarik ujung baju Nalendra, berusaha membuat suaminya berbaring di kasur yang sama.
Secara halus tarikan itu dilepas, Nalendra harus mengambil kompresan dan beberapa obat sebelum demam Asoka semakin parah. Namun yang lebih muda salah mengartikan itu semua.
Paracetamol dan obat pribadi Asoka sudah di tangan, bersama air hangat dan handuk kecil. Hati mencelos melihat Asoka berbaring tanpa tenaga, sebelah tangannya menutupi kedua mata, terisak hebat ditengah demam tingginya.
“Hei, kenapa nangis? Asoka? Maaf Saya cuma ambil-”
Ucapannya terputus, Asoka dengan segera terduduk dan memeluk Nalendra yang masih berdiri di sebelah ranjang, hampir-hampir membuat air hangat tumpah mengguyur.
“Janga pergi…maaf…Kak Nalen marah ya? Aku minta maaf…engga! Aku ga suka Petra, aku…aku suka Kak Nalen!” Nalendra hanya tersenyum, perlahan memberikan obat-obatan yang harus ditelan Asoka dan kembali membaringkannya ke kasur.
“Kamu tau? Setiap pagi atau siang, sebelum berangkat ke rumah sakit. Saya selalu hampir bawa tubuh saya ke arah kamu, hampir berpamitan selayaknya keluarga pada umumnya, hampir lempar semangat untuk kamu yang sibuk ngurung diri di ruang kerja. Semuanya hampir, karna ketus tatap kamu ke arah saya beberapa bulan ini, dan akhirnya dorong saya untuk buat kesalahan besar, yang anggap kamu seakan-akan ga ada, ego saya mengamini amarah kamu yang bilang sebaiknya kita masing-masing. Saya kalah, Soka…sialnya semakin tinggi tembok yang saya bangun, semakin saya mau kamu.”
Kalimat panjang Nalendra sembari mengompres leher Asoka, mengantar yang lebih muda kembali terisak. Wajah merah padam Asoka tak lagi dapat dibedakan karena menangis atau demamnya hang mencapai 40,2 derajat celcius.
“Tapi…kenapa Fiany? Aku…aku harus apa, kaakkk….”
“Fiany?” Nalendra beranjak, berbaring di sebelah Asoka yang masih merengek, membiarkan yang lebih muda menangis di lengannya.
“Ga ada Fiany, cuma ada Asoka Kuncoro, kesayangan Nalendra Kuncoro.”
Pagi menyapa bersama Asoka yang linglung, keluar dari kamar utama dengan kepala yang masih sedikit berputar. Punggung kokoh suaminya berada di depan mata, membelakanginya, sibuk membuat entah masakan apa.
“Kak….”
“Oh? Selamat pagi, sudah enakan?” Nalendra berjalan ke arah sofa, bersama dua cangkir teh hitam hangat, menepuk-nepuk ruang sebelahnya di sofa untuk mengajak Asoka duduk bersama.
“Kenapa aku di kamar Kak Nalen?” sebelah alis terangkat, disusul anggukan seolah menyetujui sesuatu.
“Poin suhu tubuh di hipotalamus meningkat kalau demam, karena ada zat-zat kimia yang dikeluarkan dari proses peradangan. Karena suhu tubuh terlalu tinggi secara tiba-tiba, mediator yang keluar jadi ikut mempengaruhi fungsi luhur otak, makanya bisa ngelantur atau mengigau saat demam. Hm…betul juga, betul.”
“Bisa ga ngomong bahasa manusia?!” sewot Asoka dan menyambar secangkir teh dimeja, mengundang tawa dari yang lebih tua.
Tanpa aba-aba, Nalendra memposisikan kepala di sebelah paha Asoka, memejamkan mata dan bersenandung kecil. Pemilik ‘bantal’ hanya diam, hampir tersedak teh yang berusaha dirinya telan.
“Semalam Kamu demam, merengek. Mulai dari Petra, Fiany, cemburu…sampai saya yang…sepuluh bulan ini, gagal buat kamu bahagia. Maaf ya?”
Asoka terdiam, tidak tau harus menjawab apa. Tangan Nalendra melayang ke tengkuk, menatap matanya lamat dan perlahan membawa Asoka menunduk, menyatukan apa yang belum pernah bersatu. “Belakangan saya sadar, saya betul-betul sayang kamu. Kasih saya kesempatan, ya?” dan selanjutnya, hanya lembut di bibir yang Asoka rasakan.