Konteks

🥀
4 min readApr 23, 2023

26 Februari, di tengah mimpi buruk yang menjadi nyata

note: italicbold=monolog Asoka

Asoka masih berada di rumah sakit, bersama teman-teman yang baru saja datang berkunjung. Sekadar memastikan bahwa sahabat tetap baik, dan sedikit memberi hiburan untuk ditertawakan, atau bahu untuk disandarkan.

Semua ada di sana, semua kecuali Leandra, sepupu Asoka yang dengan keras kepala bersikukuh untuk datang ke kantor media masa yang baru saja mewawancarai Asoka.

“Siapa penulis artikel ini?! Bawa ke sini! Kalau perlu editornya sekalian!”

Beberapa karyawan di lobby dan pusat informasi kewalahan, sibuk menenenangkan Leandra yang secara tiba-tiba membuat keributan di kantor mereka. Bukan tanpa alasan, sudah terlalu lama Leandra terdiam melihat sepupunya terjatuh dari roda kehidupan. Dan kali ini, kesabarannya benar-benar habis.

“Bu, tolong tenang! Atau kami panggilkan satpam! Tolong jangan buat keributan!”

“Keributan apa?! Artikel kalian yang buat keributan! Apa juga saya dipanggil ibu?! SAYA MASIH MUDA!!”

Sejujurnya Leandra merasa konyol, dibanding menemani sang sepupu yang sedang bersedih di rumah sakit, atau beristirahat dan melakukan selingan di hari libur, dirinya justru seperti manusia aneh yang marah-marah di kantor orang lain.

‘Persetan dianggap aneh, artikel sampah itu harus ditarik.’ batinnya berusaha teguh.

“Satpam tolong masuk, ada yang buat keributan di lobby utama,” Leandra yang mendengar pesan suara itu hanya mendengus kasar.

“Astaga! Saya cuma mau ketemu sama penulis dan editor! Kenapa penulis berita gak mutu kalian lindungin sih?!”

Dering di ponsel ia abaikan, layarnya masih sesekali menampilkan halaman utama berita yang kian banyak dibaca masyarakat. Amarah semakin mengubun-ubun ketika terlintas di pikiran tentang Asoka yang akan lebih dikenal sebagai calon-mantan suami dari dokter bedah, dibanding sebagai penulis hebat yang bukunya tiga kali terpajang di rak best seller.

“Kami bisa panggil polisi jika anda terus begini!” setengah teriak seorang satpam membentak.

“Saya juga bisa lapor polisi dengan kasus pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran kode etik jurnalistik, tau?!” sahutnya tak kalah kencang.

“Permisi.” suara tenang yang kontras dari protes orang-orang di sekitarnya mengalihkan perhatian, perempuan jangkung dengan kemeja putih berdiri di hadapannya, menyunggingkan senyum dan berkata, “Maaf, tapi penulis dan editor kami sedang keluar.”

“Kalau gitu, panggil kepala redaksi.” balas santai Leandra, masih dengan suara amarah. Perempuan itu menggeleng, “Pak kepala sedang ke luar kota. Keluhan anda bisa dibicarakan dengan saya. Kami dengan senang hati menerima kritik dan masukan, asal dengan penuturan yang tidak kasar.”

“Saya cuma mau tau, konteks berita ga relevan begitu dari mana?! Kenapa juga kalian putusin untuk layak tayang dan terbit?!!”

Senyum perempuan berkemeja putih tanpa sadar membungkam seluruh amarah yang ada pada Leandra, lamunnya buyer saat suara tenang itu kembali menyapa telinga, “Kami dapat bahan dari narasumber terpercaya, orang terdekat Dokter Nalendra. Itu kenapa kami konfirmasi langsung dengan suaminya, menghindari kesalahan fakta. Untuk selanjutnya, mari untuk tidak bahas di sini?”

“Oke, tapi sebelum itu, anda siapa? Apa ada manfaatnya bicara dengan anda, atau anda hanya mengalihkan perhatian?” tanya Leandra, dengan jelas, terdengar menjengkelkan.

“Saya Mentari Pradnyana, wakil kepala redaksi KabarKotaHariIni. Mari bicara di ruangan saya.”

Di sisi lain, di rumah sakit. Asoka sudah sepenuhnya tenang, hati mantap untuk mengetuk pintu dan melangkah masuk. Keputusan bulat, meski rasanya terlampau berat.

Mungkin benar, kita berada di jalur yang sama, berjalan beriringan hingga akhirnya tersadar. Tuju langkah kita jatuh pada arah mata angin yang tak sama.

Pintu diketuk, perlahan masuk dan menghentikan aktivitas dua insan yang ada di dalam. Mata keduanya bertemu, sirat bingung dan syarat sakit berpadu di udara. Nalendra tidak mengenalnya, dan tidak menyukai kehadirannya yang mengganggu.

Maaf atas diri yang terlalu memaksa untuk memiliki akhir cerita bahagia bersama. Maaf atas belenggu yang kian membiru. Sekarang pergi lah, kembali pada tapak masing-masing, dan kembali menjadi asing. Rasa takut kehilangan itu masih ada, dan akan tetap ada. Namun kepergian bukan akhir dari segala. Itu harapannya.

“Selamat siang, maaf mengganggu lagi, saya mau kasih ini.” Asoka tersenyum, sebelum akhirnya menyerahkan bunga dan buah-buahan yang dibawa teman-teman.

“Terima kasih atas waktunya. Terima kasih…sudah menjaga jantung ayah saya. Tolong jangan sakit lagi…saya pamit. Lain kali-”

Ada rasa istimewa yang tertinggal di relung dada, rasa kasih yang pula terkurung bersama tanda tanya, tentang maksud pahit dunia yang tidak menghadirkan akhir agar kita tetap bersama.

“Hati-hati di jalan,” final Asoka sebelum pergi ke luar ruangan.

Tidak yakin tentang apa ada yang seperti sosokmu, tidak yakin kemana kaki ini akan melangkah selanjutnya. Yang pasti mari biarkan kapal ini menepi, dan biarlah aku yang pergi. Kau lanjutkan tujumu, tanpa adanya hadirku.

“Asok-”

Satu tamparan keras mendarat di pipi sebelah kiri, pemilik nama-Asoka-menatap nyalang perempuan berjas putih di hadapannya. Taman rumah sakit yang kian sepi tidak menghadirkan celah untuk siapapun mencari sumber suara dua permukaan kulit beradu.

“Asoka…asoka…saya kira kamu anak manis, ternyata ringan juga tanganmu.” senyum miring terpatri, sebelah tangannya mengangkat dagu Asoka dan menariknya mendekat.

“Fiany sialan. Kamu pikir saya ga tau semua ini rencana kamu? Saya rasa kamu ga bodoh unt-”

“Terserah, maki-maki aja. Toh pada akhirnya, Nalendra punyaku kok.” tawa meledak, sukses membungkam Asoka yang sempat menyusun kalimat penuh sumpah serapah.

Tangannya di tarik paksa, menampilkan garis-garis hitam di pergelangan tangan putihnya, “Kamu pernah ngusir Nalen sebegitunya, sampai penuh barcode begini, As…mungkin kamu bisa buat lagi di pergelangan tangan sebelahnya? Untuk lupain Nalen, kayak Nalen lupain kamu….”

Tubuh Asoka bergetar, kepalanya serasa berputar. Ada hal yang tidak seharusnya disebut, seharusnya tidak didengar dan tidak dipancing untuk keluar. “Wake up, Asoka. Di dunia yang egois ini, ga semua orang bisa jadi pemenang. And guess what? I’m the winner.”

Kalimat menyakitkan yang tidak asing di telinga menjadi pamit dengan senyum licik.

“Pulang, Aso…balik jadi Asoka yang selalu oversharing ke temen-temennya, dan ngerengek nyalahin dunia kayak anak umur lima. ‘Gue pisah sama Nalen, dia lupa ingatan’, gimana? Gue bantu tuh kasih konteks untuk lagi-lagi TMI ke temen-temen lo. Then hurt yourself like your body deserves it, nangis dan ngais iba seolah-olah semua bukan salah lo. Kalah dan salah, cocok bersanding jadi satu, dan disanding satu orang ga sih, As? Yang jelas bukan gue. Siapa ya? Hm….”

Dan bersama rasa aneh di pergelangan tangan yang seolah memanggil-manggil, meninggalkan Asoka yang hancur dari dalam. Air matanya terlanjur kering, tak ada lagi isak tangis di sana. Namun sesak di dada, dan gelap di kepala akan terus ada.

“Mungkin, lo?” bisik Fiany sebelum benar-benar pergi dari sana.

Lagi-lagi, Asoka kalah.

Pada dirinya, dan pada dunia.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

No responses yet

Write a response