Memupuk Jarak

🥀
4 min readMar 5, 2023

--

17 & 22 April 2023, Di tengah jarak antara dua insan.

Kala itu jam malam berada di angka dua jarum pendeknya, Asoka berniat menunggu Nalendra pulang dari tugas malamnya di rumah sakit. Tiap detik dari hembus napasnya berlalu, yang ditunggu tak kunjung tiba, ada khawatir yang menyerang.

Dua bulan umur pernikahan keduanya dilewati dengan kian baik di tiap-tiap harinya. Asoka menemukan Nalendra yang tidak sekaku sebelumnya, tegur sapa dan basa-basi yang sebelumnya tidak pernah ada kini menjadi hiasan harian di apartemen itu.

“Saya pula-” suara yang ditunggu akhirnya terdengar bersama daun pintu yang tertutup. Mata sempat tertutup kini secara penuh terbuka seolah tidak memerlukan istirahat.

“Kak!” yang baru pulang tersenyum dan memeluk suaminya yang lebih kecil. “Hei…maaf ya, hp saya mati, jadi ga bisa ngabarin.”

Memang sudah terlalu larut untuk dikatakan sebagai midnight talk, namun perkataan yang lebih tua tentang hal penting dan tidak dapat ditunda, membuat khawatir di dada semakin menjadi. Keduanya duduk di sofa, mencoba mengatakan apa yang harus disampaikan.

“Saya harus ke luar kota, lima hari empat malam.”

“Kapan berangkat?”

“Nanti pagi….” Asoka terdiam, apa ini yang dikatakan papa dan mama di malam itu? Tentang Nalendra yang ragu untuk langsung menyampaikan penugasannya dan-

“Saya rasa saya ga bisa ninggalin kamu.”

“Ini yang dibicarain waktu makan malam itu ya, kak?” Nalendra tidak menjawab, hanya mengangguk dan menghela napas berat. “Kamu ingat? Pertanyaan papa di meja makan? Waktu papa ajak saya ngobrol berdua, papa paksa saya untuk kasih tau kamu. Tapi saya tolak, saya ga bisa ninggalin kamu sendiri. Dan saya pikir akan di akhir Mei berangkat, entah kenapa timelinenya jadi maju…”

Dua bulan telah berlalu, dan Asoka tetap tidak bisa membaca sirat mata yang lebih tua, ataupun mengartikan maksud kalimat panjangnya. Meski satu persatu angan dan harap mulai dikabulkan, mengerti adalah hal paling sulit untuknya hingga kini.

“Kalau harus, kalau bagus, kalau baik, kenapa ragu? Iya kan?”

Nalendra kembali memeluk Asoka, mengelus kepala yang lebih muda dan memberi isyarat perihal janji untuk akan serta tetap baik-baik saja. Obrolan diakhiri pukul tiga, setelah Nalendra menjelaskan apa yang akan dirinya lakukan.

Akan ada konferensi besar yang harus dihadiri, dokter bedah dari segala penjuru negeri dan dunia datang untuk mengasah dan mendiskusikan kemajuan bidang kesehatan, terutama pembedahan. Hari kedua hingga keempat, Nalendra dan rekan-rekannya harus pergi, menuju desa-desa dan mensosialisasikan program kesehat-an sederhana, dan hari kelima adalah waktunya pulang.

Hari pertama setelah keberangkatan, bertukar kabar hampir setiap saat dikalkukan, keduanya baik. Meski Nalendra yang tidak mendapat waktu istirahat. Pulang tengah malam, bersiap ke bandara dan langsung menghadari konferensi.

“Ini apa….”

Hari kedua dan setelahnya justru berbeda. Kabar baik tak lagi ada, berita juga tidak terdengar. Izin yang diberikan berubah menjadi petaka, percaya yang dihadiahkan pula berbalas khianat.

“Ini siapa? Maksudnya apa??”

Foto-foto Nalendra. Bersama Fiany, berdua terlihat bahagia, masuk ke ponsel Asoka setiap harinya.

Seminggu yang dijalani bersama ‘teror’ diponsel membuat produktivitasnya menurun. Entah kali keberapa di siang itu dirinya menerima protes dari atasannya.

“Begini ya sakitnya berkorban?”

Tidak ada yang bisa dimengerti. Semakin Asoka coba mendekat, semakin besar jarak yang terbentuk. Semakin erat Asoka mendekap, semakin renggang pula keduanya.

‘Bim, Gue capek. Kali ini betul-betul capek.’ pesan yang ditulis segera dihapus tanpa menghitung detik berganti. Tidak mau adiknya ikut khawatir tentang diri dan masalah hidupnya yang tak kunjung berakhir.

“Gimana sih, kak, cara untuk paham isi kepala lo? Gue capek…salah satu harus dilepas, jangan egosi.” monolognya sebelum memblokir akun anonimus dan masuk ke kamarnya.

Tanggal berada pada angka 22 di bulan April, menjadi hari kepulangan Nalendra yang seharusnya ia tunggu-tunggu. Namun tidak lagi.

“Saya pulang….”

Tidak ada sahutan.

Kaki jenjangnya bergerak ke setiap ruangan, mencari suaminya yang selalu menyambut kepulangannya, menunggunya bercerita tentang pasien atau menceritakan tulisan-tulisan yang diterima kantornya. Nalendra tidak menemukan Asoka di manapun di sudut apartemen, hingga satu tempat. Balkon.

“Asoka?”

“Oh, udah pulang?”

Dahi yang lebih tua berkerut, menyeringit bingung akibat perlakuan aneh Asoka yang berbeda dari hari biasanya.

“Iya…Soka? Lagi ga mood ya?” Asoka hanya menaikkan kedua bahunya sekilas dan kembali asik dengan ponselnya, tertawa kala adegan lucu muncul di layar, acuh pada hadir Nalendra yang baru pulang dari kota orang.

“Biasa aja.”

“Kamu kenapa sih? Hei!” suaranya meninggi, melihat Asoka yang seolah menganggapnya tak ada dan melewatinya begitu saja. “Kamu ini kenapa?! Saya baru pulang, jangan mengada-ada!”

“Harusnya aku yang tanya ga sih kak?”

“Maksud kamu? Asoka, jangan kebawa emosi…saya ada salah? Ayo bahas baik-baik.”

“Kak Nalen ada yang harus diakui ga?” Nalendra benar-benar tidak mengerti arah pembicaraan Asoka. Dirinya terpaksa menarik yang lebih muda untuk duduk di sofa dan berbicara dengan kepala-yang seharusnya-dingin.

“Ada rahasia apa sih kak? Apa lagi yang Kak Nalen sembunyiin? Tolong jujur, bukan kakak aja, aku juga capek begini terus. Sebentar ribut, sebentar baikan.”

“Kamu ngomong apa, Soka…?”

Dirinya tak habis pikir, jika Nalendra benar-benar ingin bicara, kata “rahasia” dan “jujur” semesinya sudah menjadi petunjuk besar. “See? Ga guna juga kak, kalau mau dibahas. Aku capek, mau tidur.”

Dan di sana, saat itu, tanpa sadar keduanya telah membangun kembali tembok yang sempat ditaklukan. Membekukan kembali es yang pernah mencari. Asoka dan Nalendra, kedua kembali membuat jarak.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

No responses yet

Write a response