Mulai dari Awal

🥀
7 min readMar 20, 2023

28 Desember 2023, Saat semua kian baik.

Note: agak 18+ (?), ada bagian italic yang = flashback.

Pagi baru saja menyapa setelah izin kala malam diberikan. Seingat Asoka, dirinya tidak pernah merasa sebahagia ini. Tidak pula begitu bersemangat, bak anak umur lima yang baru saja dijanjikan gugali. Dirinya selalu memimpikan ini, memiliki keluarga harmonis tanpa cintanya yang membawa pada petaka.

Lain mata menatapnya dengan senyum simpul. Nalendra mungkin baru melihat yang dicinta bertingkah sesenang itu, bersenandung kecil dan sesekali tersenyum tanpa alasan. Pikirannya saat melihat yang lebih muda, menyadarkannya pada satu pertanyaan yang tidak pernah ingin dijawab. Nalendra, apa dia mencintai Asoka?

“Siap?”

“Sebentar, Aku cek lagi hotelnya- booked! Betul hotel bagus kan?”

“Saran Faren ga pernah salah si…semoga bagus.”

Satu koper sedang dan satu tas berisi bahan makanan penuh dimasukkan dalam taxi biru yang akan mengantar keduanya pada bangunan megah dengan burung-burung bermesin yang akan mengantar mereka hingga Pulau Dewata. Pukul sembilan dan keduanya sampai di bandara tujuan. Hotel indah dan pemandangan megah menjadi mimpi indah di tengah hari, pantai dan desir ombak akan menjadi kawan untuk mengabiskan waktu tiga hari.

Canda menemani suasana hangat yang secara asing disambut baik pada musim hujan akhir tahun. Asoka belum pernah seramah ini pada Nalendra, dan yang lebih tua belum pernah seterbuka ini pada yang muda.

“Saya ga tau gimana harus berterima kasih.” bisik Nalendra saat menyadari suaminya telah terlelap di bangku sebelahnya, tepat setengah jam setelah pesawat mereka lepas landas.

Bali telah dipijak, kini keduanya berangkat ke hotel dengan taxi bandara yang Nalendra pesan. Tempat yang dituju akhirnya di depan mata, satu per satu barang diangkut ke dalam oleh staf, bersamaan dengan Nalendra yang membangunkan suaminya, yang nampaknya jatuh dalam tidur yang lebih pulas.

“Asoka? Hei…ayo bangun.”

“Loh sampai? Eh? Barang-barang mana, Kak?” meski tau betul kemana semua barang di bangku belakang menghilang, pertanyaan basa-basi tetap dilontarkan.

“Dibawa masuk staf hotel, ayo check in dulu.”

Tidak ada masalah selama proses verifikasi, begitu pula perihal Nalendra yang terlebih dahulu masuk ke kamar, meninggalkan Asoka yang masih mau berkeliling area kolam renang. Hingga bingung menyelimuti yang lebih tua.

“Soka, kamu salah pesan kamar?” wajah bingung sekaligus panik terlihat jelas, menyambut Asoka yang baru membuka pintu kamar mereka.

“Salah?? Salah kenapa? Iya kah? Sebentar aku cek lag-”

“Cuma ada satu tempat tidur….”

Tawa terdengar, tangan saling terkait satu sama lain, masuk dan menutup pintu kamar yang menjadi titik, dimulainya cerita baru, memulai kembali alur yang sebelumnya lebih kusut dari benang di tempat pembuangan akhir, memulai kembali kisah yang sebelumnya tertulis dalam tinta merah.

“Betul kok, from now on, let’s sleep in the same bed….”

Yang menerima senyum membeku di tempat, mencoba menelaah kalimat yang baru saja didengar. Tanpa aba, kakinya melangkah dan merengkuh suaminya dalam peluk hangat. Tidak seharusnya ia merasa sesenang ini, tapi nyata depan mata, dia sesenang itu.

“Asoka….”

“Untuk terakhir, penawaran terakhir…ayo mulai dari awal, kak. With no more hurts, tears, and broken promises.”

Hari pertama dihabiskan dengan bermalas-malasan. Masak makanan instan bersama dan bersantai, menikmati hujan yang sempat menyelimuti sekitar. Masih ada dua hari dan dua malam, keduanya masih punya waktu untuk melakukan apapun yang mereka mau.

“Kamu sadar ga, kamu mirip kelinci?”

“Mirip apa????” jemari Asoka yang semula menyisir helai rambut Nalendra yang menjadikan pahanya sebagai bantal, kini terhenti. Topik sebelumnya telah habis dibahas dan Asoka berani bersumpah, ini adalah kunci percakapan paling aneh.

“Kelinci. Fakta menarik dari kelinci, wortel ada di urutan bawah dari makanan kesukaan mereka, just like you. Kelinci suka lari ke sana ke mari, terutama kalau merasa senang, you did that this morning,”

Belai lembut diberikan sembari sesekali menyetujui ucapan sang kepala keluarga, tentang persamaan dirinya dengan kelinci. Hingga-

“Dan kelinci itu baby maker paling produkti- aduh! Kok dijambak??”

“Maksud Kak Nalen apa barusan??????”

“Maksud saya, kamu suka anak-anak, kelinci juga begitu. Emang kamu mikir apa?” Asoka kembali bersandar pada kepala ranjang.

Malu, hanya itu yang Asoka rasakan. Namun siapa peduli, toh Nalendra tidak membahasnya lebih lanjut. Percakapan disudahi, kini keduanya sudah berbaring, menghadap satu sama lain. Di bawah selimut tebal dan hujan yang turun di luar, bersama televisi di tembok yang senyap-senyap memberi suara tenang, Nalendra mengecup sekilas kening Asoka. Menghantarkan pada mimpi paling indah yang pernah dipanjatkandalam doanya.

Dan dalam kecup itu, sebongkah kesadaran telak menyapa akal sehat Nalendra. Dirinya benar-benar mencintai Asoka.

“Selamat tidur, Asoka.”

Hari kedua tidak berlangsung terlalu berbeda, hanya saja keduanya memutuskan untuk menghabiskan waktu di luar kala matahari semakin merosot ke ufuk barat.

Dingin ditepis dengan arang yang terus membara tiap potongan daging. Mata siapa saja yang melihat tentu bisa bersaksi tentang semanis apa pasangan bahagia yang menghabiskan waktu berdua, di resto dekat hotel yang jauh dari kota.

“Kak, udah gelap, langsung ke hotel yuk! Mau mandi.”

“Mandi? Malam-malam, di musim hujan? Cari penyakit?”

“Kita bau asap tau! Lagian kan ada water heater. Kak Nalen pakai kamar mandi nanti ya, aku mau mandi mandi duluan!”

Asoka berbalik, keluar resto dan meninggalkan Nalendra yang masih mengantri di kasir untuk membayar makanan yang keduanya nikmati. Sampai di hotel, Asoka masuk kedalam kamar dan menurunkan suhu pendingin ruangan karna seharian ini Bali cukup terik, dirinya mengambil jubah mandi yang disediakan pihak hotel, lalu melangkah ke kamar mandi.

Kegiatannya di kamar mandi selesai, ruangan basah itu langsung berganti pengguna karena dirinya pun langsung sibuk mengeringkan rambit sembari menonton televisi. “Eh?” matanya menangkap layar ponsel Nalendra yang menyala. Terlihat jelas nama kontak dan pesan di sana.

Hotel udah dibooking ya nal! Dua malam kan? -Fiany★

Emosi memuncak, napasnya memburu bersama detak jantungnya yang kian tak karuan. Tubuh yang menghadap kamar mandi kini merubah arah tuju, nakas di sebelah kasur menjadi titik pemberhentian langkahnya. Beberapa butir obat ditenggak bahkan ditelan tanpa air. Asoka benar-benar butuh distraksi, dan merendam diri dalam air panas bukan ide buruk.

“Loh kenapa belum pakai baju? bathrobenya basah loh, ini juga rambut- ckckck, nanti kamu masuk angin, sini saya bantu keringin.” Asoka bergeming, melewati Nalendra yang heran dengan perubahan tiba-tiba dari tingkah suaminya.

“Kenapa marah?” hampir setahun bersama, cukup membuat Nalendra mengerti arti diam dari seorang Asoka Rahardj- ralat, Asoka Kuncoro. “Tenang, hei…obat udah diminum?” dirinya menutup pintu kamar mandi, mendekat ke arah Asoka yang menatapnya seolah memiliki dendam.

“Mau apa?! Pergi, aku mau pakai baju!”

“Kamu marah kenapa, sayang….”

“DIEM GA?! Ngapain panggil begitu?!” dan dirinya benar-benar meledak. “Sayang-sayang kolega Kak Nalen aja! Ngapain masih di sini?! Sana pulang! Mau ngamar kan dua hari?!! Ngapain sih repot-repot ngurus aku begini kalau akhirnya nyakiti-”

“Kamu cemburu?” pertanyaan bodoh. Tangan terkepal, ingin sekali memukul laki-laki di hadapannya. Namun sebelum hal itu dilakukan, Nalendra terlebih dahulu memeluknya.

“Awal tahun nanti beberapa dokter ditugas kerja ke Sulawesi, tugas saya untuk cari penginapan. Tapi karna saya ga bisa- lebih tepatnya ga mau diganggu, waktu liburan sama suami saya, tugas itu saya kembalikan ke professor. Dan beliau melimpah tugas Fiany, anak itu update ke saya, karna tetap saya yang harus buat laporan.”

Penjelasan panjang Nalendra berhasil membuat Asoka sedikit tenang. Meski ia tidak berani seutuhnya percaya apakah yang disampaikan adalah kejujuran atau sebaliknya.

“Maaf….”

“Saya paham.” ucapnya masih memeluk Asoka dan mengusap kepalanya.

“Kak? Aku mau pakai baju…dingin.”

“Sebentar.” emosi yang meluap dan rasa keharusan untuk menjelaskan membuat keduanya lupa, Asoka masih mengenakan jubah mandinya, dan Nalendra yang masih berkaus tipis, juga baru selesai mandi.

“Kamu ganti sabun?” Asoka mengangguk dalam peluk, “Kata mama, Kak Nalen suka wangi sabun ini….” jemarinya meremat kaus tipis Nalendra saat merasakan hembus napas di keruk lehernya.

“Manis.” yang lebih muda menggigit bibir bawahnya, bersusah payah menetralkan deru napas yang semakin memberat. “K-kak!” napasnya tercekat, kupu-kupu seolah beterbangan di perut dan dadanya saat yang lebih tua memberi beberapa kecup di tengkuknya.

Pelukan di lepas, si jangkung menangkup pipi suaminya, berusaha membawa netra untuk bertemu. Pandang teduh akhirnya mendarat tepat di manik sayu yang lebih muda.

“Asoka…boleh ya?”

Angguk diberikan sebagai jawaban. Ada ragu dan takut yang menghias pikiran Asoka. Ragu apakah masa indah ini akan selamanya bertahan, ragu apakah Nalendra benar-benar menginginkannya atau hanya nafsu belaka.

Dan takut, Nalendra akan meninggalkannya setelah ini.

Tanpa kata selanjutnya, Nalendra membuka kausnya, membiarkan Asoka menatap tubuh indah yang selama ini tertutup jas beraroma obat.

Like what you see?”

Selanjutnya, biarlah keduanya menikmati waktu panas yang tidak pernah terbayang dalam hidup. Biarkan keduanya berbagi rasa surgawi dan indahnya putih yang membawa mereka semakin tinggi.

“Terima kasih, Soka….” kecup terakhir diberikan, menatap lekat suaminya yang tak lagi memiliki tenaga. Memperhatikan setiap lekuk di wajah cantiknya yang…membuatnya merasa bodoh, karena baru menyadarinya.

I love you….” hanya itu yang Asoka katakan, hingga akhirnya menyerah untuk tetap terjaga, lelah benar-benar dirasa, terkuras sudah seluruh tenaganya.

Detik itu, Nalendra benar-benar menyadari, dirinya tidak sekadar mencintai Asoka. Dirinya jatuh dalam hati dan pesona yang lebih muda, jatuh sangat dalam, bahkan rasanya terlalu dalam.

Dan dirinya menyukai rasa jatuh cinta itu.

Hari telah tanpa sadar berganti, semalam suntuk dihabiskan keduanya untuk menyatukan cinta yang tidak pernah direkatkan. Nalendra kembali pada kegiatannya menatap Asoka, wajah tidurnya yang tenang membawa desir ke dadanya. Terutama saat pikiran kotornya kembali memutar tentang apa yang beberapa saat lalu mereka lakukan.

“Sayang…sekali lagi, boleh?”

“Even if you want, mas…let’s fall in love for the night, and forget in the morning.” izinnya kembali mengantarkan keduanya dalam alun suara tanpa kata.

Untuk saat itu, nafsu yang membumbung tinggi tidak membuatnya berpikir lebih panjang. Namun jika dipikirkan lagi…apa maksud perkataan Asoka?

What did you mean, Soka…you said you love me but tears rolling down your cheeks.”

Nyata benar adanya, tentang Nalendra yang tidak akan pernah mengerti sesak khawatir dalam pikir Asoka.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

No responses yet

Write a response