Derap langkah masih terdengar dari ujung jalan, bergema seiring dengan kedua tungkai yang terus diayun dari lahan parkir. Rintik yang secara halus mengguyur permukaan tanah tidak membuat dirinya — Sena — menghentikan langkah untuk menghampiri apa yang menjadi tujuannya. Lampu kota dan kendaraan yang lalu lalang menjadi teman perjalanannya sebelum memasuki bangunan besar yang diisi penuh dengan manusia-manusia haus akan belai dunia.
Mata yang diedarkan ke seluruh sudut akhirnya menemukan apa yang dicari. Laki-laki dengan kaus putih, lengkap dengan celana hitam andalan dan kalung peraknya. Pertemuan antara dua mata itu diakhiri dengan isyarat di mana Sena harus menghentikan langkah dan duduk menunggu. Dentum musik dengan irama yang tidak terlalu disukainya memenuhi ruangan dan telinga, gedung yang dikenal sebagai Bar Croom, sebuah bar sederhana yang tutup di jam tiga pagi.
“Gas nih vodka yang rasputin?” kalimat tanya menjadi pembuka dari percakapan keduanya, penolakan dilontarkan pada laki-laki yang sekarang sudah berdiri di belakang meja bar, di hadapan Sena yang sibuk menghela napas sedari tadi.
“Jangan gila, gue nyetir ke sini.” senyum miring sekilas terlihat dari lawan bicara, tau benar penolakan itu akan Sena ingkari sendiri nanti. “Ngamar lagi lah.”
Ngamar. Sangat sedikit manusia yang tau, bahwa Bar Croom adalah kamuflase dari club malam yang memiliki ‘kamar’ di dalam gedungnya. Hanya beberapa orang yang dikenal dekat Keluarga Wira — keluarga besar Tanu; pemilik gedung dan usaha — yang tau perihal pengelabuan izin bisnis ini, dan hanya mereka yang diizinkan untuk ‘menyewa’ kamar-kamar tersebut dengan segala fasilitasnya. Sena, entah harus merasa beruntung atau sial, telah sangat dipercaya Tanu dan pernah menikmati fasilitas itu.
“Terus, mau cerita apa lo?”
Cerita mengenai kekonyolan dari pahitnya hidup yang bahkan belum sempat dia rasakan, kini mengalir deras dari mulutnya. Kata demi kata tersusun bersama dengan keluhan dan beberapa kalimat penyesalan yang melengkapi semua. Ada sekelebat duka dari penggalan kata yang Sena sampaikan, sakit di kepala membuat air mata tidak bisa keluar sebagaimana seharusnya.
Kepala itu dimiringkan, melihat tajam netra lawan bicaranya tanpa kedip. Putaran di pergelangan tangannya pula masih tidak berhenti menyeka mulut gelas, masih mencerna cerita panjang dari beberapa gelembung percakapan Sena dan adiknya sebelum laki-laki itu berada di sana.
“Jadi … setelah lo diambil om tante lo, adek bungsu lo di-b-word bokap lo, nyokap lo hampir dipenjara; yang untungnya batal karna harus cari uang, sekarang bokap stroke dan adek pertama lo … bahkan ga tau kabarnya? Selama ini, sekarang?”
“Tanu anjing.” ucapnya singkat sebelum menenggak bir yang sempat disiapkan Tanu di tengah-tengah ceritanya, membebaskan sang tamu apakah pada akhirnya akan menyentuh minuman beralkohol itu atau tidak.
“Gue ngerangkum cerita lo doang, brengsek.”
Kini gelembung dan uap dingin dari dalam gelas birnya seolah terlihat lebih menarik daripada suara apapun yang ada di kepala. Tanu sudah hapal mati, tentang Sena yang akan kehilangan seluruh logika dan akal sehatnya apabila dihadapkan pada situasi yang sama sekali tidak berpihak pada hidupnya.
Pertanyaan tentang apa rencana selanjutya hanya dibalas tatapan nyalang. Jelas dirinya tidak terpikir apapun hingga saat itu. Konyol bagi Sena jika solusi sudah dia dapatkan, namun tetap jauh datang ke sarang seorang Tanu hanya untuk mengeluh.
“Gimana cara nyokap dan adek lo bertahan hidup selama ini? It’s been seven years, man. Seven.“
Kepala digelengkan, menunjukkan diri yang juga tidak memiliki ide tentang apapun yang harus dilakukan. Sena tidak mengetahui apa yang keluarganya butuhkan, dia tidak tau apa yang mereka inginkan, berujung pada diri yang tidak tau soal apa yang harus dilakukan.
“Lo mau saran serius dari gue, atau sekedar gue hibur?”
“Saran. Lagi ga butuh laki-laki penghibur.” kalimat kurang ajar Sena tidak mendapat balasan selain lemparan lap gelas tepat di wajahnya.
“Menurut lo. Menurut sisa-sisa memori lo sebelum pergi waktu itu. Apa yang keluarga lo paling butuhin?” diam, hening dalam hingar bingar musik yang bergema menyelimuti keduanya dalam tatap mata yang sulit diartikan.
“Keluarga gue butuh merdeka dari bokap.” kalimat singkat akhirnya terdengar, setelah waktu yang berlalu tanpa jawaban berharga cukup membuat jengkel tuan rumah. Namun jelas, sama sekali tidak membantu.
“Udah tiga tahun ini bokap lo stroke kan lo bilang? Berarti udah bebas kan? Pikir lagi, pasti ada hal lain.”
Napas kasar dihembuskan ke udara ketika yang lebih muda lagi-lagi diam dan tidak kooperatif terhadap masalahnya sendiri. Tanu memajukan separuh tubuhnya, mempertipis jarak antara keduanya yang dipisahkan meja bar. Kepalanya miring ke kanan dan kiri, matanya nyalang telak ke netra Sena yang tak kalah tajam, seolah-olah mencoba melihat pikiran seperti apa yang ada di balik warna coklat gelapnya.
“Ada hal lain yang mereka butuh dari lo, atau seenggaknya ada hal yang mereka mau dari lo. Kalo engga, buat apa juga mereka bersedia nerima lo lagi setelah ga ada sumbangsihnya selama ini?”
“I was a middle schooler that time ya, setan.” sanggahnya setelah Tanu kembali mundur dan mengembalikan jarak yang sempat hampir nihil.
Malam semakin larut, begitu pula dengan pikiran Sena yang semakin redup. Bir yang belum juga habis dalam gelas di genggamannya seolah memohon untuk ditenggak dan melupakan semua persoal duniawi untuk malam ini.
“Uang jajan lo dua minggu, kalo disisihin cukup buat lo pulang ke rumah dan balik ke tempat tante lo. You didn’t even try, man. Jelas lah adek lo marah, usaha lo cuma tanya kabar via tante lo, dan percaya gitu aja.”
“I didn’t ask you to judge me, Nu.”
“Gue cuma mau lo sadar. Gue paham bokap lo kayak setan, tapi dengan ‘memanfaatkan’ keadaan lo yang diambil tante lo, itu bukan cuma pengecut sih Sen, itu brengsek.”
Gelas bir yang masih hampir penuh pada akhirnya dialirkan ke kerongkongan tanpa jeda yang berarti. Darahnya naik dan mendidih di atas kepala. Meski Tanu tidak tau trauma yang dipendamnya, laki-laki satu itu sepenuhnya benar tentang Sena yang sempat memanfaatkan keadaan untuk tidak pulang ke bangunan sepetak yang disebutnya sebagai neraka dunia.
“Saran gue lo minta maaf, dengerin semua keluh kesah mereka selama ini, dan di situ lo bakal tau harus apa. Buat mereka sudi untuk manggil lo sebagai keluarganya lagi, Sen.”