Pulang

🥀
5 min readApr 23, 2023

--

25–26 Februari 2024, dalam bayang kelabu masa lalu.

notes: italic=flashback

Derap langkah bergema di lorong putih dengan bau khas, beberapa menit yang lalu, ponselnya menerima panggilan dari nomor tak dikenal. Nomor resmi yang membawa kabar tidak menyenangkan ke dalam telinga.

Entah mengapa selalu terjadi, niat baik yang tidak pernah disambut hangat. Damai ramah yang dibalas halang rintang. Nalendra Kuncoro, suaminya, kini terbaring dalam ruangan dingin yang dibalut rasa tegang. Nama yang biasa terpampang di tengah monitor sebagai penanggung jawab dan dokter utama pembedahan, kini bergeser ke sisi kiri sebagai pasien.

“Jalan licin”, begitu ketik Asoka beberapa jam lalu kala membalas pesan saat yang terkasih ingin menjemput pulang. Dan benar, jalan licin itu menelan satu korban yang katanya juga akibat kelalaian. Seorang supir truk pengangkut barang tengah menyetir dalam mabuknya, kendali yang lepas dan waktu yang entah mengapa berubah cepat membuat sang korban tidak bisa menghindar.

“Dok! Gimana suami saya?? Baik-baik aja kan???”

Air mata sudah membanjiri pipi, tangis kembali pecah ketika mendengar apa yang keluar dari bilah bibir laki-laki paruh baya berjubah hijau.

“Saya kesini untuk menemui keluarga korban dan memberi tau keadaan di dalam ruang operasi saat ini. Yang dapat saya sampaikan hanya … kami akan berusaha semaksimal kami. Tapi tolong untuk persiapkan keadaan terburuk.”

Hancur. Dunia Asoka runtuh saat itu juga.

Asoka jatuh terduduk, di lantai dingin yang menghadap pintu ruang operasi, tepat setelah sang dokter kembali hilang dibaliknya. Matanya berubah kosong, wajah pucatnya dengan jelas menampakkan, dia tidak baik-baik saja.

“As…duduk di kursi yuk, minum dulu…As?”

Petra masih di sana, tidak sampai hati meninggalkan Asoka sendiri. Tidak lagi.

“Apa yayah mau ketemu Mas Nalen ya, Pet?” pertanyaan tiba-tiba yang dilontarkan Asoka sukses membuat Petra bungkam. Ada kabut hitam di kepala Asoka, dan Petra dengan pasti tidak bisa mengusirnya.

“Kenapa tanya begitu…suami lo pasti bertahan. Lo tau dia bukan orang yang lemah, As.”

“Kenapa semua berpulang saat gue mau pulang ya? Gue cuma mau ketemu orang-orang yang gue sayang, Pet….” seolah tidak mendengar, suara lirih itu terus mengeluarkan kata demi kata yang baris tanyanya menyayat isi dada.

“Mungkin emang gue harus sendiri…lo percaya kutukan, Pet? Mungkin semua orang yang gue sayang, akan berakhir-”

“As!”

Yang lebih tua ditarik untuk berdiri, dibawa dalam peluk hangat yang tak lagi mampu mendengar kata-kata menyedihkan dari bibir yang sama sekali tidak dalam keadaan baik.

“Jangan bilang begitu.” tawa kecil keluar dari mulut yang dipeluk, namun air mata belum juga muncul tanda-tanda berhentinya. Ada sakit di dada dan mimpi buruk di kepala. Ada pula ketidak sanggupan kata yang semuanya menjadi nyata.

“Aso mau pulang, yayah!!!”

Usianya masih 12 tahun, seorang anak sekolah dasar yang tidak mengerti perihal rapat dan pertemuan bisnis. Usia belia yang juga tidak peduli betapa berharganya kerja sama besar tanpa modal. Anak kecil yang belum paham mengenai hutang budi.

“Ga mau!! Aso boseennn! Pulang! Aso! Mau! Pulang!” kata demi kata diteriakkan, seolah seseorang yang ada di seberang telepon tidak akan mendengar dengan volume normal.

“Habis ini yayah pulang, ya…Asoka sabar dulu, oke? Main dulu sama nenek. Nenek kangen loh sama cucunya.”

“Aso mau liburan sama yayah sama ibun…kenapa sih yayah sibuk…Aso lebih suka yayah bawa taksi….”

Dan di detik itu pula, Tuan Rahardja memutuskan untuk meninggalkan pertemuan bisnis penting. Melembutkan hati dan memutuskan pulang, kembali pada keluarga. “Yayah pamit pulang dulu sama teman yayah, ya…Aso tunggu yayah di rumah nenek, nanti sore yayah jemput.” telepon dimatikan, tanpa prasangka ini dan itu.

‘Kecelakaan beruntun terjadi siang ini. Bus dengan rem blong menabrak mobil pribadi yang ada di depannya hingga keluar jalur. Satu korban berinisial CWR dengan usia 45 tahun, terhimpit antara bus dengan mobil dari arah berlawanan, tewas dalam perjalanan menuju rumah sakit. Korban lainnya sebanyak mengalami luka ringan; yakni DAK berusia 48 tahun dan SD berusia 61 tahun, serta satu orang mengalami luka berat, dengan inisial NKK, berusia 14 tahun.’

Asoka kecil kehilangan sosok pahlawan di hidupnya. Bahkan menjadi bahan gunjingan teman-teman di sekolahnya. “Eh eh, gara-gara Asoka, ayahnya meninggal tau! Kata ibuku itu karna dia maksa jalan-jalan sama ayahnya, padahal ayahnya bilang dia di rumah nenek harusnya. Makanya! Jadi anak harus nurut!” jelas. Asoka dengan jelas mendengar kalimat itu.

Semua adalah salahnya. Tiga kata yang tertanam dalam di kepala.

Satu dua tahun berlalu, puluhan bulan, ratusan hari. Asoka dengan jelas melihat mentarinya meredup, menyaksikan bunganya kian layu.

Kini usianya beranjak 13 lebih sedikit, harus dipaksa belajar perihnya patah akibat cinta. Harus belajar tentang sakitnya ditinggal, harus mengukir mimpi buruk tentang keluarga cemara.

“Ibun-” tatap sayu itu menusuk, tepat di ulu hati.

“Kak…jangan panggil ibun lagi ya…hmm bunda? Gimana kalo bunda?”

“Iya bun…da….”

Asoka tau persis rasanya patah di usia belia, dan terlanjut takut untuk mengalami hal yang sama.

“Bim, lo bisa ke RS sekarang?” suara bersautan lewat panggilan tanpa kabel. Sedikit menjauh dari Asoka yang terlihat mulai tenang. Adiknua dihubungi, meminta bantuan untuk membawa ‘barang’ yang dibutuhkan Asoka saat ini.

“Soal berita yang tadi diomongin Tama sama Purna di grup. Itu…ipar lo.” hela napas terlihat dari ekor mata Asoka yang sudah berputar kepalanya. “Jangan kasih tau anak-anak dulu…iya, tolong bawa juga obatnya.”

Dua jam berlalu, operasi belum juga berakhir, bahkan waktu sudah masuk tengah malam dan rumah sakit kian sepi. Asoka masih di sana, di tempat duduk depan pintu ruang operasi. Menunggu penuh harap ada keajaiban, tentang dirinya dan Nalendra yang bisa kembali bersama dalam bahagia.

“Ini salah gue kan? Semua salah gue….” Asoka tersenyum, namun mata dan kalimatnya berkata lain.

Petra hanya diam, tidak membalas apapun perkataan Asoka saat di fase terendahnya. Si jangkung hanya memeluknya dalam, mengelus surai hitam yang lebih tua untuk menenangkan.

“Apa…Mas Nalen bakal tinggalin gue juga, Pet?”

“Dia ga akan tinggalin lo sendiri As, dia sayang lo….” namun lagi, kalimat yang selanjutnya keluar tidaklah lebih baik. “Yayah sayang gue…tapi yayah pergi….”

Tangisnya kembali pecah, tanpa suara, tanpa isak. Namun rengkuh semakin erat, seolah meminta kekuatan dari yang lebih muda, entah bagaimana caranya.

“Yayah…jangan ambil Mas Nalen…tolong jangan ambil dia dulu….” lirihnya dalam isak.

Jam menunjukkan pukul tujuh di pagi hari. Masih belum ada yang mengetahui kecelakaan yang dialami Nalendra kecuali Asoka, Petra dan Bima. Kemungkinan besar juga Puspa dan Fiany, mengingat kabar kecelakaan dokter bedah terbaik itu dengan cepat merayap dari telinga ke telinga staf rumah sakit.

“Lo aja yang masuk…gue mau liat Mas Nalen.” sang adik menurut, tidak berniat sedikitpun membantah dan membuat keributan dengan kakaknya yang terlihat…hancur.

Semalam suntuk dirinya tidak tidur, “Kalau gue tidur terus Mas Nalen bangun, gimana?” jawabnya setiap kali disuruh beristirahat. Tidak ada makanan pun minuman yang diterimanya sedari malam kejadian. Hingga detik ini, yang tertinggal pada Asoka hanya wajah pucat, mata panda…dan sedikit harapan.

Bima keluar, menghampiri dokter yang berada di area jaga. Mungkin setelah ini anak itu juga akan keluar, mengingat ruang ICU tidak bisa dikunjungi dengan bebas selain wali utama pasien.

“Dokter Nalendra- maksud saya pasien atas nama Nalendra…mengalami patah tulang terbuka di humerus, karena itu juga pembuluh darahnya robek. Pendarahan melampaui batas wajar, untungnya daerah tangan tidak apa-apa. Selain itu-”

‘Selain itu … itu aja udah buruk.’ batin Bima meringis.

“Tulang keringnya patah, dan ada retakan di tulang paha. Yang terparah ada di kepala. Karena terbentur terlalu keras, pendarahan juga terjadi di otak, untuk yang satu itu, mari sama-sama berdoa. Kami akan lakukan pemeriksaan gelombang otak secara berkala untuk memastikan batang otak masih berfungsi. Pemeriksaan intensif lanjutan dilakukan setelah siuman untuk memastikan fungsi neuron dan gelombang betanya.”

Bima bahkan tidak mengerti, apakah yang dia dengar adalah kabar baik atau buruk. Yang jelas, kabar itu harus disampaikan.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

No responses yet

Write a response