Hampir sepuluh menit sudah dirinya duduk dalam ruangan familiar, dibalut tipisnya alunan musik dan desir cakap pengunjung lainnya, Nalendra mencoba tenang bersama kopi dingin dan esnya yang kian mencair dimakan waktu.
Tenang, adalah kata yang terus ia ulang di dalam kepala. Ada sedikit rasa bersalah karena menolak temu yang ditawarkan calon suaminya. Tapi kesempatan tidak datang dua kali. Meski kesempatan yang diambil adalah mengenal Asoka, namun dari orang lain.
“Nalen!”
Yang dinanti akhirnya tiba, Puspa. Koleganya di bagian bedah ortopedi dan traumatologi, sekaligus mantan kekasihnya beberapa tahun lalu semasa dirinya dalam pendidikan koas.
“Sudah lama nunggu?” Nalendra hanya menggelengkan kepala atas pertanyaan yang ia dapat.
“Dari mana Kak Puspa tau, calon saya itu Asoka yang kamu kenal? yang punya nama Asoka ga hanya satu.” tembakan tanya yang dilayangkan cukup membuat lawan bicara bungkam.
Puspa terdiam, mencoba membaca manik yang seakan tulisannya dibuat di atas air. Palung kosong dalam mata Nalendra selalu dan terus tak berisi. Namun gelap dan dinginnya sorot mata itu…tidak lagi ada di sana.
Sedikit cahaya dalam bentuk di sana…cahaya perihal khawatir? sedih? entahlah, yang jelas semua itu nampak di matanya.
Dan Puspa berani bersumpah, itu indah.
“Aku temannya dulu, waktu kecil. Kami belajar jalan bersama, belajar makan bersama, bahkan nangis juga bersama…waktu tumbuh dan cabut gigi, sakit.”
Senyum Puspa merekah, mengingat masa kecilnya dengan sang sahabat, Asoka. Tidak dengan Nalendra yang masih terdiam, menunggu penjelasan lebih lanjut seolah semua itu belum cukup untuk mengisi kepalanya tentang buku berjudul “Cerita Tentang Asoka” yang hanya dia sang penulis dan pembacanya.

“Ini Asoka kelas satu SMA, kami masih saling tukar kabar lewat facebook atau email. Sampai ponselku hilang, dan…ya kami hilang kontak.” Penjelasan Puspa yang terlalu tiba-tiba, dan foto masa muda Asoka tetap tak membuat Nalendra mengerti, pertanyaan baru akhirnya muncul.
Namun ada fokus yang sedikit bergeser, fokus pada layar ponsel yang seolah memaksa Nalendra untuk tersenyum -walau kecil- kala netra diikat pada layar ponsel di meja.
“Kelihatan jutek dari dulu ya….” gumam Nalendra dibalas tawa oleh Puspa, angguk yang ada selah menjadi jawab persetujuan atas argumennya.
“Iya! Dulu dia pakai kacamata…tapi kemarin engga ya? Mungkin softlens? Atau lasik? Entah.”
Kedua indera penglihatan Nalendra masih berada di sana, menerawang mata yang dilapisi sepasang kaca. Ada ambisi di sana, terlihat jelas, persis seperti mata yang berkobar saat makan malam, namun teduh seperti di teras gedung lantai 17.
“Aku masih banya fotonya, waktu itu simpan dari facebooknya.”
“Lewat media sosial? Kalian terpisah?”
Atas pertanyaan Nalendra, Puspa mengangguk. Membenarkan asumsi apapun yang saat ini ada di kepala Nalendra, di balik pertanyaannya.
“Sekitar 16 tahun lalu? Umurnya masih 12 tahun, tapi aku pergi. Ikut papa ke Inggris, menetap di sana sampai lulus S1. Waktu itu SMA kelas dua, salah satu teman di Inggris buatin facebook katanya gamenya banyak.”
Nalendra diam, memilih menyimak kemana arah cerita Puspa akan berlabuh. “Sampai akhirnya ku tau bisa cari orang dari seluruh negara, dan bener, aku nemu akun Asoka. Tapi komunikasi hanya bertahan satu tahun karna ponselku ilang…dan lagi pula waktu itu ku kira Asoka akan pura-pura ga kenal….”
“Ponselmu ilang, kenapa setelah beli baru ga cari kontak Asoka? Atau ke cyber cafe? Kenapa juga dia harus pura-pura ga kenal? Kalian teman dekat kan? Semuanya ga masuk akal, Puspa!”
Atas pertanyaan bertubi Nalendra, Puspa membeku. Baru pertama kali rangkai tanya keluar dari bilah bibirnya, ditambah serat putus asa di dalamnya. Bukan seperti nalen yang dirinya kenal. “Aku kelas tiga SMA waktu ponselku ilang, Nal. Aku lupa password facebookku, dan ga sempat main-main. Kamu tau kan masuk FK ga gampang?”
“Dan…i left him, when he was at his lowest, Nal ….”
Air muka Puspa berubah, kesedihan dan penyesalan tergambar besar di sana. Namun raut pilu yang ada perlahan menghilang, mencoba mengambil sisi baik dari segala yang pernah terjadi, seperti-
“Seperti kata Asoka dulu, semua hal buruk pasti ada sisi baiknya. Contohnya sekarang, dibalik perjodohan kalian yang kesannya terpaksa, kalian saling ‘dapat’ satu sama lain.”
“Puspa … Saya ga paham.”
Senyum dilayangkan atas pernyataan penuh kebingungan dari sang junior. “Who knows before, perjodohan kalian bisa bawa reuni ga terduka dua sahabat lama.” yang lebih tua meminta sedikit waktu, menyilahkan diri untuk ke kasir dan memesan minum, dan meninggalkan Nalendra dalam tanda tanya besar. Bercerita panjang lebar membuat Puspa haus.
“Tadi sampai mana?” tanya sederhana dari si kakak tingkat saat kembali ke kursi dengan segelas kopi.
“Asoka bilang…tunggu, Asoka? Bilang begitu? Di umur berapa dia bilang begitu?”
“Sebelum aku ke Inggris, berarti…sepuluh tahun? Sebelas?”
Nalendra memijit pelipisnya, mendengus kasar seolah memberitakan ketidak percayaannya pada Puspa. Jika anak sepuluh tahun bisa sedewasa itu, jadi siapa orang dewasa kekanakan yang malam itu Nalendra temui?
“Asoka itu anak paling kuat yang aku kenal, Nal. Dari segi fisik? Lumayan. Tapi daripada itu, pikirannya jauh dari anak-anak seusianya dulu…dan mungkin sekarang.”
” ‘Mungkin’ ?”
“Banyak hal yang Asoka lewatin di hidupnya, hal yang jadi mimpi terburuk setiap anak di tiap usia. Asoka kuat, tapi dia rapuh….”
Lagi-lagi Nalendra terdiam, satu persatu jawaban di kepalanya terjawab. Namun Asoka bagai puzzle yang tiap kepingnya kehilangan penyangga. Satu lubang ditutup, maka lubang lainnya akan timbul.
“Dia pernah marah-marah layaknya anak kecil, tapi pernah juga sebijak pahlawan alumni perang, saya bingung….” aku Nalendra.
“Jangan biarin Asoka stres, pikiran dan hatinya bisa kacau, begitu juga ucapan dan…keputusannya. Buat keputusan itu hal yang paling Asoka hindari, dan dari seluruh manusia di bumi ini, dia paling ga percaya…dirinya sendiri.”
“Kenapa???” tidak ada lagi kaget yang Nalendra sembunyikan. ‘Untuk anak yang pernah berpikir hanya dari sudut pandangnya, dia ga percaya sama diri sendiri???’ batinnya.
“Aku tanya ulang pertanyaanku di chat, kamu cinta dia…?”
“Ini bukan perkara semacam kelainan tulang belakang yang bisa saya simpulkan dalam waktu kurang dari satu minggu, Puspa!” dan bila dirinya memanggil wanita itu tanpa embel-embel ‘kak’, Puspa hapal benar anak itu kepalang serius.
Puspa tersenyum, Nalendra tetaplah Nalendra. “Sama kayak tweet kamu yang bilang detak di dada itu bukan punya kamu…hidup Asoka bukan punya dia, Nal. Seengganya itu yang selama 15 tahun terakhir dia percaya.”
“Apa??? Kenapa?”
“Itu waktu aku pergi, left him at his lowest. Sekarang, kamu tau nama lengkap Aso, adiknya, ayahnya?”
Nalendra menangguk, “Wintang Sadali Ismoyono, dulu beliau pasien saya.” mengabsen satu persatu nama anggota keluarga yang ditanya. “Chandrakumara Asoka Rahardja, adiknya…Abimanyu Tarendra Ismoyono? Kalau saya ga salah ingat.”
“Sekarang, menurut kamu, kenapa nama keluarga ayah dan adiknya sama, tapi engga dengan Asoka?”
Nalen harus menemui Asoka-
“Kamu tau kenapa nama keluarga mereka beda, Nal?”
Secepatnya.