Sudah

🥀
6 min readApr 23, 2023

--

26 Februari 2024, di sekeliling cahaya yang kian meredup

Mata yang hampir kehilangan cahayanya, kini kembali bersinar terang. Netranya menangkap sedikit pergerakan di jemari yang punggungnya terhubung infus.

Wali utama yang juga satu-satunya yang kebetulan di sana berdiri, segera memanggil perawat jaga. Sigap, beberapa orang langsung menghampiri pasien di ranjang, dan beberapa ada yang berlari memanggil dokter penanggung jawab.

“Kami akan periksa dokt- pasien terlebih dahulu.” ucap gagap dari perawat berhasil membawa senyum kembali pada wajah murung Asoka. Suaminya benar-benar orang penting di sana, dan sebenter lagi, dia akan kembali dalam rengkuhnya.

“Anda bisa keluar dan mencari sedikit udara. Jika pasien dalam kondisi baik, akan kami pindahkan ke kamar VIP nomor 3, jika perawatan masih harus dilakukan secara intensif, anda bisa menemuinya kembali di sini.”

Kata terima kasih terlontar dari bilah bibirnya, sebelum berlalu keluar dari ruang dingin berbau cairan infus. Sebelumnya, bunyi elektrokardiogram yang memenuhi pendengaran Asoka membawa kembali memori mengerikan di masa lampau. Namun kini dirinya sudah dapat bernapas lega.

“Cuci muka dulu deh, ga enak kalau dilihat Mas Nalen begini.”

Wajah dibasuh, baju ganti masih dalam perjalanan. Bimabilang akan mengabari teman dan keluarga, mungkin siang nanti mereka sampai.

“Mas…makasih, untuk mau bertahan.” monolognya.

Satu jam berlalu, penampilan Asoka jauh lebih baik dari sebelumnya, makanan dan minuman juga sudah masuk ke dalam tubuh setelah mengetahui suaminya baik-baik saja dan telah dipindah kamarkan.

Beberapa buah dibawanya dari kantin rumah sakit, berniat memberi kesan pertama yang menyenangkan. Asoka masuk ke dalam kamar rawat yang cukup luas, tidak salah lagi, benar-benar VIP. Satu persatu buah dalam kantung ia letakkan ke keranjang di atas nakas, tepat di sebelah ranjang yang penghuninya sedang sibuk membaca buku.

“Terima ka- eh? Saya kira kamu perawat tadi.”

Asoka hanya tertawa, meski masih serak suara itu pada akhirnya dengan merdu menyapa telinganya. Suara yang selama ini dirinya rindukan. “Baca buku apa mas? Oh iya, Bima tadi chat katanya nanti bunda sama ayah mau dateng, bareng mama papa ju-”

“Maaf, kamu siapa?” lagi, Asoka tertawa. Ada sedikit- tidak, banyak. Ada rasa khawatir yang teramat di benaknya, namun senyum diberikan, mencoba berpikir jernih kalau itu hanya sekadar candaan umum dokter.

“Jelek banget bercandanya, aku lagi serius tau!” yang terduduk di atas ranjang hanya diam, menatap bingung Asoka yang semakin ketakutan.

“Nal, nanti kalau ud-” kalimat di ambang pintu itu terputus saat mata terikat dengan netra milik Asoka. Orang yang sangat Asoka kenal, Fiany.

“Kamu kenal dia, Fi?” tidak ada jawaban, dua-duanya masih saling beradu tatap dengan makna yang sulit ditafsirkan.

“Fian? Hei…sayang, kamu kenal dia? Fian?” Asoka menatap Nalendra tidak percaya. Suaminya tidak mengenalinya, dan memanggil ‘sayang’ orang lain…di hadapan wajahnya.

“Dia-” ucapan Fiany lagi-lagi diputus. Seorang dokter manis masuk dan tersenyum ke arah mereka berdua, ada sedikit rasa lega di kedua pundak Asoka, dia bisa membantu Kawannya.

“Halo, Nalendra. Saya ga tau apa saya diingat atau ga, jadi baiknya saya memperkenalkan diri. Saya Puspa, senior anda di bedah ortopedi dan traumatologi. Dan itu Asoka,”

Mata Nalendra beranjak, memperhatikan lamat Asoka yang tersenyum ke arahnya. Namun nyata tidak seindah khayal, apa yang keluar dari mulut Puspa adalah yang tidak diharapkan. “Anak dari pendonor jantung…kamu.”

“Apa???!!” keduanya setengah berteriak, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Puspa tersenyum, begitu pula dengan Fiany yang ada di sebelahnya. Meski mengerikan, masih ada sedikit rapal doa dalam hati tentang ketiganya yang secara tiba-tiba tertawa melihat wajah panik Asoka seraya berkata ‘Maaf, kami hanya bercanda.’ tapi doa nampaknya sulit dikabulkan semesta.

“A-ah, iya…saya dengar anda kecelakaan, jadi saya hanya mau j-jenguk…kalau begitu anda bisa istirahat, s-saya permisi.”

Asoka masih dapat mendengar, sayup suara Puspa yang menyilahkan diri untuk keluar kamar rawat, dan Fiany yang mengucap “Ga kenal.” air mata ditahan mati-matian, namun gagal, tumpah ruah bak deru air sungai yang tak kunjung kering.

“Asoka-” sang pemilik nama memincingkan mata, jika kematian bisa ditentukan dari sirat mata, mungkin tatap itu telah membawa ajal ke sana. “Lo marah, gue tau.”

“Kenapa?”

“As….” ulur tangan kearah lengan ditepis kasar, liriknya masih nyalang, berapi menusuk telah ke hati. “Kenapa, Puspa?”

”… Duduk dulu, gue kasih tau semua yang perlu lo tau.” dan keduanya berakhir di sana, di kursi ruang tunggu untuk para penjenguk pasien VIP. Meski setengah hati, Asoka tetap harus mendengar, setidaknya untuk membunuh waktu hingga sanak saudara datang.

“Lo mau tau yang mana?”

”… Donor. Apa maksudnya gue…anak dari pendonor…jantung?”

“Ceritanya panj- tunggu, lo? Ga tau soal itu?” gelengan didapat, Asoka sibuk melihat ke arah sepatu yang ia ketuk-ketuk ke lantai. Enggan melihat sahabat dokternya yang duduk di sisi.

“Nalen bilang lo udah tau semuanya? Alasan perjodohan itu ga jadi batal…? Aso…waktu itu, waktu yayah lo jadi salah satu korban kecelakaan. Beliau ga bisa pulang dan tinggalin bisnis besarnya begitu aja, satu nama ada di benak beliau, dihubungi untuk gantikan posisi sementara waktu pertemua. Dan lo tau siapa orangnya? Papa Nalen, mertua lo.”

Penjelasan panjang itu masih menghasilkan tanda tanya, namun meninggalkan sesak di dada yang rasanya ingin ditolak mentah-mentah oleh kepala. Matanya masih menatap ke arah bawah, tubuh yang tanpa sadar kian bergetar hanya berusaha mengatus napas sedemikian rupa.

“Jangan bilang Mas Nalen….”

“Iya, dia ada di sana. Mobil yayah ditabrak dari belakang, keseret sampai jalur lawan, di jalur itu juga ada mobil mertua lo. Mobil yayah lo kehimpit, beliau meninggal di jalan waktu ke rumah sakit. Supir bus dan papa luka ringan, Nalen…patah tulang rusuk. Paru-parunya robek, yang terparah…jantungnya bocor dan pembuluh darah pecah. Donor organ yayah lo…ternyata terdaftar sebagai pendonor, jadi…lo tau kelanjutan ceritanya.”

Satu hal yang Asoka tau. Pahlawannya masih hidup. Hidup di dalam tubuh seseorang yang dia cintai.

“Ada lagi yang mau lo tau? Gue…ga mau lihat sahabat gue sedih lagi.” punggungnya diusap perlahan, mencoba menenangkan teman masa kecil yang kian hilang arah dalam kepala.

“Mas Nalen kenapa? Kenapa dia lupa? Kemarin kami mau baikan, Kak. Kemarin kami berkabar! Kami janji untuk pulang!”

Asoka yang meledak secara tiba-tiba ditarik untuk berdiri, dibawa dalam peluk hangat dua orang ibu, yang sama-sama hancur. Ada bunda dan mama di sana, menangis bersama Asoka setelah tau pasien di kamar nomor 3 bahkan tidak mengenali ibu kandungnya.

“Bun…Mas Nalen…Mas ga ingat Aso, Mama….”

Tidak ada yang bisa Puspa lakukan selain mencoba menenangkan tiga orang yang tengah merasa kehilangan. Tiga orang yang merasa jauh ketika yang dimiliki ada di depan pandang, merasa asing pada orang yang sangat dikenal.

Kondisi akhirnya kondusif, namun bukan kabar baik bagi Puspa. Cecar pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Nalendra terus menghujan. Puspa tidak boleh memberi tau hal tersebut, namun ketiganya keras kepala.

“Oke, oke, tenang. Saya kasih tau, tapi tolong tenang…soal Nalen, singkatnya luka parah. Panjangnya, dokter sempat kewalahan menangani kateterisasi vena sentral. Syok berat di kepala kanan karna guncangan yang terlalu besar dari bagian dalam, akibatnya tengkorak kanan rusak. Anehnya, ditemuin kejadian langka-”

Puspa masih menjelaskan panjang dan lebar, bunda hanya terdiam, tidak mengerti harus merespon apa. Mama kembali menangis, menyadari seberapa nahas kondisi anak bungsu kesayangannya. Dan Asoka, masih menunduk, sibuk memaki dan menyalahkan diri.

‘Dua kali. Mas Nalen dua kali kecelakaan dan kritis…karna gue….’

Puspa melanjutkan, akhirnya masuk ke dalam inti dari dongeng buruk yang diceritakannya.

“Cuma hemisfer sebelah kiri yang mengalami pendarahan otak. Operasi berjalan lancar, butuh 12 kantung darah untuk akhirnya Nalen dinyatakan selamat. Begitu siuman, pemeriksaan syaraf dan gelombak otak dilakukan. Hasilnya….”

“Hasilnya?!” tidak sadar, dan tidak sabar. Asoka meninggikan suara di ruang bergema itu.

“Sistem limbik, struktur penting di otak yang berhubungan dengan pembentukan ingatan, bermasalah. Awalnya Nalen didiagnosa Transient Global Amnesia, tapi dia ingat semua tentang dirinya. Ingatan masa lalunya secara total hilang, kesimpulan jatuh pada Amnesia Reterograde.”

“Gue- gue harus apa kak????” gelengan diterima, mungkin benar, pupus sudah seluruh harap untuk kembali bersama.

“Jangan paksa Nalen untuk ingat, Aso…yang ada kondisinya bisa semakin parah. Lo yang bilang ke gue di cafe kemarin, salah satu kunci mencintai itu…ikhlas. Jadi- As, Nalen udah banyak berkorban, ini saatnya lo yang lakuin itu.”

Asoka terdiam, duduk dengan pandangan kosong di sana. Napasnya memburu, rasa takut, khawatir, sedih, semua hal buruk menghantui isi kepalanya. Obat dari bunda segera di minum, kalimat pamit yang tadinya akan keluar, mendadak terhenti setelah….

“Selamat siang, kami dari KabarKotaHariIni, karena tidak diperbolehkan masuk ke ruang rawat, kami ingin mewawancarai suami dari Nalendra Kalanath Kuncoro, dokter bedah terbaik Indonesia saat ini, apakah benar anda Chandrakumara Asoka, suami Dokter Nalen?”

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

No responses yet

Write a response