Tanggal 14 Februari, tidak lagi menjadi hari konyol bagi Asoka. Hari bodoh yang cinta hanya dihargai sebatang coklat murah mini market. Kini kalender bahkan telah dilingkari spidol merah dengan gambar beberpa hati di sekelilingnya.
Tepat di hari ini, setahun yang lalu, janji suci keluar dari bibirnya. Hari di mana dua insan disatukan dalam ikatan di hadapan tuhan dan umatNya yang turut hadir. Sejak kejadian di hotel akhir tahun kemarin, pernikahannya dihias segala rasa, kecuali amarah yang berarti.
Jika hidupnya dapat digambarkan dengan krayon anak berumur tujuh, kertas putih akan dengan indahnya dihiasi warna-wani cerah bahagia.
“As! Asoka! Astaga hei, gosong nih!!” Purnama, mantan kekasih yang kini menjadi salah satu tempatnya berkeluh kesah, berada di dapur apartemennya, membantu menyiapkan hidangan untuk malam nanti.
“Heheheh, maaf.” yang lebih tua hanya mengulang kata maaf sembari mengolok, sebelum akhirnya tersenyum hangat. “Selamat ya As, ga kerasa udah satu tahun….”
“Ini bahan-bahan letakin di mana?” suara dari pintu menginterupsi keduanya. Petra datang dengan beberapa bahan makanan. Mereka benar-benar akan masak besar.
“Thanks alot guys!!” menjadi kalimat pengantar Asoka atas kepulangan dua sahabatnya setelah membantunya hampir seharian.
Mentari sudah mulai tenggelam dan segala hidangan telah siap di meja makan. Asoka hanya tinggal menunggu.
Nalendra izin untuk keluar hari ini, perayaan sederhana bersama koleganya untuk merayakan dilantiknya kepala departemen bedah yang baru. Sang dokter berjanji untuk tidak terlalu banyak makan agar bisa menikmati hidangan yang Asoka siapkan. Janjinya juga untuk pulang di pukul delapan.
Detik demi detik berlalu, kini jam di dinding telah bergerak jarumnya, menunjukkan hampir di angka sepuluh. Telat satu setengah jam, dan tidak pernah sebelumnya. Khawatir semakin menjadi-jadi, tubuh bergetarnya dengan berhati-hati menuju nakas, manimang apakah harus meminum obat. Namun niat ia urungkan.
Khawatirnya tidak juga reda, hingga pukul sepuluh, dirinya memutuskan untuk keluar, mencari Nalendra dengan mobil yang Bima titipkan.
“Kemana sih mas….”
Bukan tanpa alasan, pagi tadi Nalendra bercerita bahwa ban mobilnya sudah tipis, dan melihat jalan licin akibat hujan yang masih sedikit berjatuhan membuat Asoka tidak bisa menghentikan skenario mengerikan di kepalanya. Ditambah ponsel suaminya yang tidak aktif, semua gagalnya upaya untuk sekadar tau kabar, membuat kepala Asoka benar-benar sakit.
“Itu mobil mas, kan??”
Monolognya terapal saat melihat mobil hitam dengan nomor polisi yang dihapalnya. Mobil yang baru keluar dari sebuah tempat makan besar di tengah kota, dia ikuti diam-diam. Kening mengkerut saat melihat arah laju mobil yang berlawanan dengan apartemen keduanya.
“Ini mau ke mana sih? Rumah sakit? Loh, rs harusnya belok kanan kan? Kemana deh….”
Sebelah tangan yang tidak memegang kemudi masih sibuk menekan nomor kontak yang sama.
‘Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif, atau ber-’
Usahanya lagi-lagi berhenti. Begitu pula injakan pada pedal gas, ketika melihat yang sedari tadi di dalam pikirannya, yang sedari tadi membuatnya membuang waktu untuk menunggu dan khawatir.
Nalendra keluar dari bangku pengemudi, pergi ke sisi sebelah mobil dan membopong seseorang dengan kedua tangannya. Netra ditajamkan. Di malam dingin di penghujung musim hujan, terlihat wajah perempuan yang melingkarkan tangannya pada leher Nalendra Kalanath Kuncoro, suaminya.
Cukup sudah. Entah merasa sebodoh apa Asoka untuk berulang kali memberi Nalendra kesempatan. Menutup telinga dari semua yang pernah menasehati atau lainnya. Sekali mendua, janji hanya akan jadi omong kosong belaka.
“That’s it. Waktu gue bilang itu tawaran terakhir, artinya betul-betul kesempatan terakhir, sialan.”
Asoka menyalakan mobil setelah target utama masuk ke dalam rumah dan hilang di balik pintu. Memutar balik dan pulang menuju apartemennya. Air mata tanpa sadar jatuh, membasahi pipi dan menyesakkan dada. Matanya berkunang bahkan beberapa kali hampir menabrak kendaraan lain, tapi siapa peduli? Tidak ada, bahkan suaminya.
“Petra…bisa ke apart? Please….” yang di seberang tidak menjawab, telepon langsung dimatikan untuk segera pergi ke apartemen sahabatnya.
“Bodoh. Bodoh. Asoka bodoh!!!” kata demi kata diulang, seakan menjadi mantra untuk menyalahkan diri sendiri.
“Asoka??!!! Ini gue!!!” Asoka membuka pintu, berhambur memeluk Petra dalam isaknya yang tak kunjung berhenti.
Pintu ditutup, langkah yang dibawa ke dalam unit seolah dipaksa berhenti, di sana terlihat semuanya berantakan. Makanan yang seharian dimasak kini berhamburan bersama meja ruang tengah yang terbalik. Beberapa vas bunga bahkan pecah, obat yang seharusnya menjadi benda paling steril, pun kini berserakan di lantai.
Petra kembali memeluk Asoka, mengurung hati untuk bertanya tentang apa yang akan terjadi. Yang lebih muda mencoba untuk menenangkan, bagaimana pun caranya. Dadanya perih melihat kakak kesayangannya menderita dan kembali rapuh.
Waktu berlalu dan Asoka sudah lebih tenang. Pandangannya menatap kosong ke depan, masih terdiam dengan bibirnya yang kering. Matanya merah dan bengkak akibat tangis tanpa kesudahan, kini kepala disandarkan pada bahu Petra yang masih berada di sebelahnya.
“Maaf….”
“Berhenti minta maaf, lo ga salah. Harusnya gue yang makasih. As, makasih udah percaya gue untuk jadi sandaran lo, sampai detik ini. Terlepas dari buruk sangka anak-anak yang lain.”
Air mata Asoka kembali tumpah, tanpa isak dan kedip. Ada sedikit penyesalan tentang dirinya yang tidak percaya ucapan Petra tempo dulu, perihal Nalendra yang memiliki simpanan. Ucapan Petra yang juga tidak dipercaya adik dan teman-temannya.
“Lo kenapa ga cari pacar? Lo baik, lo pinter, lo mandiri, meski sedikit berantakan.” Petra tertawa, “Mirip Nalendra ya?”
Petra bergeser, membuat Asoka mengangkat kepala dan saling bertatap “Jangan sebut dia, bisa ga?!”
“Kenapa ya gue ga punya pacar?” Asoka masih menatap Petra (yang entah mengapa matanya kian menggelap), menunggu jawaban karena rasanya mustahil laki-laki nyaris sempurna sepertinya tidak memiliki belahan jiwa.
“Gelagat gue mirip Nalendra, tapi kenapa orang yang gue sayang malah cinta mati sama bedebah itu ya? Padahal jelas, hubungannya ga bener, ga sehat…apa gue ga kelihatan ya?” ucapnya enteng.
Asoka membeku di tempat. Berusaha mencerna kalimat panjang Petra, apa perkiraan yang selalu ditepis ternyata benar adanya? Perkiraan bahwa Nalendra tidaklah setia dan Petra tidak menyukainya dalam konteks romansa.
Kini keadaan berbalik, tanpa aba-aba Petra dibuat beku terdiam. “Diem dulu, dia pulang.”
Petra menurut, membalas pelukan tiba-tiba Asoka saat menyadari kehadiran orang yang sama sekali tak lagi diharapkan kedatangannya.
“Apa gue cuma alat supaya si dokter cemburu, As?” bisik Petra di telinga yang lebih tua.
“Aso- astaga ini kenapa?? Soka??? Dia-”
“Pet, kamu pulang aja, udah mau jam satu, hati-hati.” satu kecup singkat mendarat di pipi sebelah kiri. Tidak hanya Nalendra, bahkan Petra ikut mematung. Apa yang baru Asoka lakukan? Memulai perang?
“Asoka?! Kamu apa-apaan??!!!” melihat Asoka yang seolah tidak bisa melihatnya, cukup membuat darahnya mendidih hingga ke pucuk kepala. Ekor mata Petra tanpa sengaja menangkap bayang Nalendra yang semakin naik pitam, membuat niat buruknya menguasai.
“Oke aku pulang dulu. Sleep well, As.” ucapnya dan mengelus pipi Asoka.
Kesabaran habis, satu bogem mentah diterima Petra.
“LO APA-APAAN SIH ANJING??!!! Petra lo ga apa-apa kan?????”
Asoka reflek berlari, bersimpuh di depan Petra yang terbaring di lantai. Namun tangan yang lebih muda ditarik suaminya, memaksa keduanya berhadapan. Asoka melirik Petra sekilas, menyuruhnya untuk segera pergi. Perintah dituruti, Petra angkat kaki.
“LO GILA YA?!! NGAPAIN NONJOK PETR-” ucapannya terputus, netra terfokus pada satu objek yang tidak dirinya sangka untuk melihat langsung dengan mata kepala. Niat hanya sekadar mendiami suaminya seperti yang sudah-sudah, akhirnya berganti. Menjadi yang paling buruk yang dirinya mengerti.
“Kenapa berhenti? Mau bilang apa tadi?” untuk pertama kalinya, intonasi dingin Nalendra gagal mendominasi keadaan.
“Mau pulang.” jemari yang mencengkram lengan Asoka perlahan mengendur. Tidak mengerti maksud ucapan yang lebih muda. “Apa sih? Coba yang jelas. Jelasin kenapa apartemen kamu hancurin begini? Kenapa obat kamu berhamburan? Kenapa tantrum lag-”
“MAU PULANG!! PUNYA TELINGA GA SIH ANJI-”
“ASOKA!” kalimat Asoka terputus, napasnya tercekat tidak percaya dengan apa yang terjadi.
Baru kali ini, setelah mereka berdua resmi menjadi sepasang suami, Nalendra melayangkan satu tamparan keras ke pipinya. Bersamaan dengan bentakan yang membuat remuk seluruh jiwanya. Sadar, Nalendra ikut bergetar, mendekat dan langsung menggenggam tangannya. “S-soka…maaf….”
Sang pemilik nama terdiam, kembali terisak dengan takut yang menjadi-jadi. Yang lebih muda dengan terpatah-patah melepas genggam pada tangannya, perlahan mundur dan lari ke dalam kamar entah untuk apa. Nalendra tidak menyusul, membiarkan suaminya menenangkan diri, dia lelah, dan tidak menginginkan pertengkaran lebih hebat di perayaan satu tahun pernikahannya.
“Soka itu…koper untuk apa?”
“Mau pulang.” sekali lagi, dan Nalendra masih gagal mengerti.
“Soka…sayang…jelasin dulu ya, kamu kenapa? Saya buat salah? B-bukan. Bukan pertanyaan. Saya salah. Maaf t-ta-” bahkan dirinya sendiri tidak sanggup menyebut tingkahnya barusan.
“Maaf saya kasar…maaf saya bentak kamu…tapi selain itu, kenapa Soka…jelasin dulu, mau kan?”
“Bisa ga…lo berenti pura-pura baik? Gue capek….” dengan suara bergetar, Asoka meninggalkan kesan memohon. Gagang koper dicengkram kuat, seolah meminta kekuatan moral untuk kembali meneruskan kalimatnya.
“Bisa ga, berhenti pura-pura jatuh cinta sama pernikahan yang cuma lo jadiin panggung sandiwara? BISA GA LO MEMILIH DAN BERHENTI JADI PENGECUT?!!”
“Asoka, saya capek ya kalau kamu ga jelas begini.”
Benar-benar kelu, Asoka dan lidahnya tidak tau harus mengatakan apa. ‘Tidak jelas’ katanya. Ketika yang paling tidak jelas adalah segala tingkah labilnya selama ini. Sebenarnya siapa di sini yang ‘sakit’?
Nalendra benar-benar kehilangan kewarasannya. Baru dirinya meminta maaf, dan sekarang dengan lantang mengatakan dirinya lelah atas ketidak jelasan Asoka?
“Wah, udah gila ya lo, Nalendra sialan,”
“Asoka, tenang. Tarik napas, pelan-pelan jelasin, kamu kenapa? Oke, saya minta maaf kalau ada salah, tapi kalau begini gimana saya bisa paham??”
“Gila.” ulang Asoka. Yang lebih muda menarik napas dalam sebelum akhirnya menarik kerah yang lebih tua. “Lo mau tau gue kenapa?” penekanan bertingkat di tiap kata dalam kalimatnya.
“Lo kira gue ga tau semua yang lo lakuin?! Lo kira gue ga jengah dengan semua ucapan manis lo? Lo kira gue ga gusar atas semua janji buta lo??! NALENDRA KUNCORO LO PIKIR GUE BODOH??!!!” dan lagi, Asoka meledak. “Karena gue yang melunak beberapa bulan belakangan ini, gue yang menunjukkan keyakinan kalau gue bisa ngerubah sifat bajingan lo, gue yang-”
“Kamu skip obat hari ini?”
“Brengsek!!!!” dada yang lebih tua didorong kuat, menciptakan jarak antara keduanya.
Asoka bersumpah dirinya tak lagi kuat. Nalendra bukanlah laki-laki yang dirinya kenal, bukan laki-laki di museum atau sebelum pernikahannya, bukan laki-laki yang merawatnya ketika demam, dan tentu bukan laki-laki yang bersamanya di hotel saat tahun baru.
Nalendra tidak lebih dari laki-laki arogan yang berbicara sesuka hati, persis seperti di makan malam pertama, saat keduanya masih saling asing.
“Bisa berhenti bicara kasar?”
“Lo- lo pikir gue ga tau lo langsung meluncur ke RS untuk jemput pacar lo, dan jalan dengan alasan ‘cari interior apartemen’ ke IKEA, saat gue interview kerja?! Dan jangan sampai gue mulai soal lo yang ga mau gue ajak ke luar, ternyata sibuk di cafe sama dia!!”
“Sayang….”
“Stop!! LO KIRA GUE GA TAU LO MESRA-MESRAAN SAMA SIMPANAN LO, DI RUANG PENGANTIN?! Menurut otak yang lo kira pinter itu, KENAPA GUE SURUH PETRA YANG AMBIL HP GUE?!! Lo pikir Gue sekekanakan itu untuk marah hanya karna sUaMi GuE ga ada untuk sambut tamu??!!!”
“Soka, saya….” jika boleh jujur, lidah Nalendra kelu dan kepalanya seketika kosong, ada percik tidak terima atas tuduhan yang menurutnya salah sangka, namun tetap tidak tau harus menyangkal seperti apa.
“Lo betul-betul kira gue sebodoh itu untuk ga sadar kalau waktu lo mau ke RS, padahal masih cuti, lo mau temuin Fiany kan?? Gue ga bodoh!!!!”
Hening. Hanya ada suara tangis Asoka yang tidak ada tanda-tanda akan segera berhenti.
“Dan, apa lo tau seberapa sakitnya waktu lo bilang lo hanya akan kaku ke orang yang ga dekat sama lo??? Dan sampai sekarang lo sebut diri lo sebagai ‘SAYA’, ketika lo sebut ‘AKU’ di depan simpanan lo itu?!?!!”
“Soka maaf…mas jelasi-”
“TELAT! Setelah pergi seminggu, izin kerja padahal liburan, teror gue dengan foto bahagia kalian?! Gunain otak yang lo banggain itu, Nalendra…gue bilang kan? Di hotel adalah kesempatan terakhir. Dan engga, untuk kali ini, ga ada maaf. Ga ada setelah lo telat di hari perayaan dan justru tidur di rumah simpanan lo yang lagi mabuk, sampai lupa hari pernikahan dan janji yang udah dibuat!” jari telunjuknya mendorong-dorong dada Nalendra kasar.
Nalendra memeluk Asoka, mencoba menahannya dan menenangkan yang lebih muda. Gagal. Asoka memberontak dan menangis sejadi-jadinya.
“Oh it must be nice…dicintai seseorang yang menyilahkan lo hancurin mereka bekali-kali. Gue mohon…lepas….” pinta Asoka di sela isak membuat ulu hati mencelos.
“Mas harus apa supaya kamu mau percaya, Soka…apa mas perlu bersimpuh dan cium kaki kamu? Untuk kamu mau denger semua penjelasan mas? Apa perlu mas urus surat pindah rs atau bahkan resign? Jawab Soka…mas lakuin semua yang kamu mau…Soka, mas mohon….” suara Nalendra bergetar, baru kali ini ketakutan membebani pundaknya sedemikian rupa hingga rasanya tangis pilu bisa pecah kapan saya.
Namun tak ada tanggapan selain, “Soka benci Mas Alen….” perlahan Nalendra melepas peluk, tanpa kata memandang Asoka yang tak lagi memiliki tenaga, pergi dan menghilang dari pandang mata.
Nalendra benar-benar berlutut, menjatuhkan diri di lantai, mengacak rambutnya kasar dan berteriak. Melempar beberapa barang yang ada di sekitarnya. Malam itu, sifat kasar yang selama ini dipendam, akhirnya keluar. Nalendra tidak sempurna, monster dalam dirinya yang bertahun-tahun ia kurung menjadi pemutus keindahan pernikahannya dengan satu layang telapak tangan.
Ketidak sempurnaan yang selalu dirinya sembunyikan, ketidak sempurnaan yang juga menjadi ketakutannya.
Ketidak sempurnaannya mengantar dirinya pada kehancuran rumah tangga.
“Asoka…maaf….” detik itu, runtuh sudah pertahanannya. Masih di tempat yang sama, berlutut menghadap Nalendra menangis dalam diam, mengingat betapa perih dan rapuhnya Asoka di hadap, sesaat lalu. Menangis dan berharap Asoka kembali membuka pintu, tertawa dan berkata bahwa semua adalah lelucon jahilnya.
Namun Asoka telah keluar dan turun dari apartemennya, dengan tangis belum juga berhenti hingga lift sampai di lantai utama. Pintu terbuka dan terlihat Petra yang sibuk dengan ponsel di tangan serta rokok di antara kedua bibirnya.
“Pet lo belum-”
“Kalau gue bilang, gue udah tau akhirnya akan begini, lo percaya ga, As?” ucapnya enteng sembari mematikan rokoknya.
Petra menatap datar Asoka yang menunduk, “Ayo, gue antar lo pulang. Ke rumah lo…yang sebenarnya.”
Kembali pada sisi lain, di apartemen lantai 18, dengan terhuyung-huyung, laki-laki jangkung mengunci pintu apartemennya yang telah lama tertutup. Hampir pukul tiga dini hari, dan dirinya belum terlelap. Padahal ada janji dengan pasien di pagi hari.
“Ah…kenapa pakai acara sakit sih ini kepala.”
Nalendra baru ingin memejamkan matanya yang perih akibat menangis, namun kelopak itu kembali terbuka saat tangannya meraba sesuatu di bawah bantal.
Sisi kanan ranjang adalah yang menjadi area tidur Asoka, dirinya tidak tau suaminya menyimpan entah barang apa di bawah bantalnya. Nalendra terduduk, menarik barang yang telah dalam genggamnya, dan mendapatkan….
“Foto pernikahan….”
Di tangannya, foto pernikahan yang dicetak dalam bingkai 5R, saat dirinya mengecup kening Asoka untuk pertama kalinya.

Asoka benar-benar mencintainya.
Sakit kepala yang tak kunjung reda akhirnya membawa dirinya ke kamar mandi, membuka nakas untuk mengambil obat yang ada.
Foto indah dalam bingkai putih dipajang di sebelah ranjang, berniat untuk memandanginya lebih lama setelah ini. Matanya ke sana dan ke sini, melihat satu persatu kekacauan yang Asoka dan dirinya ciptakan. Kekacauan yang menjadi saksi betapa lelah suaminya, dan betapa bodoh dirinya.
Muka ia basuh di wastafel kamar mandi, sedikit menunduk untuk mengambil botol obat dan melihat dirinya di pantulan cermin setelah menenggak beberpa butir.
“Tunggu- sialan!!”
Nalendra menyadari sesuatu. Melihat apa yang membuat Asoka marah sejadi-jadinya. Melihat hal yang seharusnya tidak dilihat, bahkan tidak seharusnya ada.
Tanda keunguan di leher sebelah kanan.
Dengan cepat, kakinya melangkah untuk mencari kunci mobil yang sempat entah ke mana dirinya lempar. Namun pergerakan terhenti di depan pintu, setelah mengingat bagaimana muaknya Asoka, bagaimana lelah dan hancur suaminya. Bagai mana Asoka berkata bahwa dia membenci Nalendra dan memohon untuk dilepas pergi.
Apa dirinya harus menemui Asoka?
Salah.
Apa dirinya masih layak, untuk menemui Asoka?