Tanpa Percaya

🥀
4 min readMar 12, 2023

--

6 Mei 2023, Di depan ego tinggi yang diberi makan.

Malam hampir larut, dan seorang pemuda justru baru menapakkan kaki ke dalam kediamannya. Disambut tatap tajam dan hening sekitar membuat was-was menggerayang di sekeliling tubuh. Tapi siapa peduli. Mungkin piala oskar layak dimilikinya, untuk berpura-pura acuh saat sang suami menatapnya penuh emosi.

“Kamu ini kenapa?” pertanyaan pertama sekiranya tidak kreatif, bagi Asoka. Pertanyaan yang selalu terulang setiap kali dirinya kedapatan sedang marah.

“Ganti pertanyaannya. Kak Nalen yang kenapa, tanya di depan kaca coba, salah Kak Nalen apa? Aku marah bukan tanpa sebab, Kak.”

Asoka berlalu, meninggalkan Nalendra yang masih mati-matian mengontrol segala yang dirinya rasa. Tepat sebelum Asoka masuk kamar, yang lebih tua menutup pintu dan menguncinya, membiarkan suami mungilnya tidak bisa memasuki kamar yang sehari-hari menjadi tempat ia beristirahat.

“Balikin ga?!”

“Kamu kenapa.” kunci dicabut dan masuk te kantung celana, keduanya masih berada di ruang tengah, diselimuti amarah yang menggebu dari keduanya. “Saya salah, oke. Dan selagi kamu tau letak kesalahan saya, kenapa kamu diam?”

“Percuma ga sih, kak? Aku seharusnya ga perlu selalu marah begini, kita berdua bisa aja akur. Bisa, kalau Kak Nalen tau cara tepat janji.”

Senyum terukir, namun dibanding indah, lengkung itu lebih terlihat menyedihkan.

“Kunci.”

Tangan yang menengadah tidak mendapat apapun selain kehampaan. Dengus terdengar, demi Tuhan, Asoka lelah.

“Dua hari lalu Saya ketemu Bima di ATM, dia bilang kamu marah karna saya ga ada kabar selama di luar kota,”

Diam Asoka menjadi jawab persetujuan bagi Nalendra. Yang lebih tua membuang napas kasar, mengambil benda asing dan menyerahkannya pada Asoka bersama kunci dari saku.

Kunci sampai di tangan, begitu pula benda kepunyaan entah siapa yang disambut kalimat ketus Asoka, “Udah tau salah apa, ngapain tanya? Sengaja buat emosi? Ini punya siapa lagi??”

“Saya minta maaf, ga ada kabar hampir seminggu waktu jauh dari kamu…ponsel saya hilang, saya rasa ada yang ambil karna waktu saya track posisinya berpindah-pindah. Jadi saya beli ponsel baru, saya mau hubungi kamu, tapi saya ga tau nomor kamu.”

Penjelasan konyol, tapi masuk akal. Asoka hanya mengangguk dan menyerahkan kembali ponsel baru Nalendra, tidak ada kata apapun lagi yang mengiringi perpisahan keduanya malam itu.

“Saya minta maaf ya…maaf teledor dan buat kamu khawatir, maaf ga ada kabar. Kamu benar untuk marah, ini sepenuhnya kesalahan saya. Asoka…kamu mau maafin saya?”

Asoka terdiam, menatap kearah manapun kecuali mata suaminya. Nalendra hanya tersenyum simpul, berpikir bahwa Asoka sudah memaafkannya dan hanya gengsi untuk mengakuinya.

“Terus foto-foto itu?”

“Foto? Foto apa maksudnya?”

Wajah Asoka yang sempat melunak kini kembali mengeras rahangnya. Nalendra betul-betul tidak tau, atau hanya purah-pura bodoh?

“Soka, saya minta nomor kamu ya. Setelah ini saya catat juga dan selipkan di dompet, jaga-jaga kalau ada hal yang ga di-”

“Minta bima.”

Dirinya terdiam di balik pintu kamar, ada sedikit rasa terima kasih setelah mendengar kata maaf dari Nalendra, berbagai rasa hinggap di dada, bersama sebagian rasa bersalah yang juga menghantui. Kalimat Lea masih terus berputar di kepala, bagai mana jika bukan Petra pelakunya? Jika bukan Nalendra? Bagai mana jika ini hanya akal-akalan orang ketiga? Dan…bagai mana jika dirinya meminta maaf lalu berterus terang tentang apa yang dirasa.

Mungkin prasangka tidak akan seperih ini.

Namun sialnya, kata maaf dari bibir si jangkung yang semestinya bisa menyatukan kembali mereka berdua, tidak berjalan sesuai rencana. Kata maaf tulus yang semestinya bisa dengan mudah diterima, yang semestinya juga bisa dijawab ‘aku juga’, justru menjadi pakan ego seorang Asoka yang kelaparan dan mengonsumsi hatinya. Kata maaf Nalendra seolah memberi makan gengsi tinggi yang Asoka bangun.

Esok hari tidak lebih baik, Asoka menjalani harinya seperti biasa, namun tanpa suara. Keduanya terjebak antara menjadi satu atau semu. Seperti sedia kala, adalah kalimat pendek yang paling cocok untuk mendeskripsikan semuanya.

Mereka saling berjarak, dan enggan untuk bergerak.

“Selamat pagi, masak apa? Mau Saya bant-”

“Jangan sok baik.” dan Nalendra tau, Asoka belum memaafkannya. Meski ada rasa kesal dan bingung yang bercampur di ulu hati, mungkin mengalah adalah jalan tepat untuk saat ini.

Yang terjadi selanjutnya adalah pandangan yang secara otomatis terkunci satu sama lain, suara bel dari pintu apartemen terdengar, sang kepala keluarga dengan berat melangkah, meski rasanya tidak terlalu menyukai tamu di pagi hari.

“Asoka?” pemilik nama menengok, mata membulat ketika melihat siapa yang datang di pagi hari bahkan sebelum pukul tujuh tepat.

“Bunda?! Mama?!” dua orang yang sama sekali tidak diharapkan hadirnya. Tidak saat keadaan rumah tangga mereka sedang tidak baik-baik saja.

Asoka mengedipkan mata beberapa kali ke arah suaminya, memberi sinyal untuk mengosongkan kamar anak. Takut ketahuan perihal mereka yang pisah ranjang. Sembari Asoka sibuk menyiapkan sarapan dan menarik perhatian, ada Nalendra yang hilir mudik memindahkan koper berisi barag-barang Asoka.

“Nale-”

“Buunn!!! Coba deh ini rasanya gimana? Kalau menurut Mama?”

Saat-saat menegangkan bagi sepasang suami telah berakhir beberapa menit yang lalu. Kini kelimanya duduk di ruang tengah sambil sesekali bergurau. Lima, karena ada Bima yang baru saja datang dari parkiran.

“Kalian itu kapan mau kasih kami cucu?” penjawab hanya tersenyum, bingung harus mengatakan apa.

Jika mata tidak mengetahui, baik Nalendra dan Asoka, terlihat sama-sama saling mencintai. Yang lebih muda bersandar di bahu sang kepala keluarga, ketika lengan dengan indah melingkar di pinggang.

“Kami sibuk, ma…Asoka sering rapat sampai malam, Kak Nalen juga terkadang dipanggil mendadak ke rumah sakit. Kami ga mau anak kami diasuh orang lain.”

“Tapi kalian baik-baik aja kan?” kini pertanyaan bunda yang membuat keduanya semakin tidak nyaman. Entahlah, tidak baik sama sekali, namun tidak seburuk yang terdengar.

“Ah…sudah harus ke rumah sakit. Sa- Kakak berangkat dulu.” Asoka membeku di tempat ketika kening dikecup singkat, yang lebih tua pamit pula pada tiga tamunya, meninggalkan senyum merekah di wajah dua wanita paruh baya.

“Hati-hati, love you!” giliran Nalendra yang menghentikan langkahnya di ambang pintu. Ah, mungkin baik mama atau bunda, memang sebaiknya mengunjungi apartemen sesering mungkin.

Too.

Bincang kembali dibuka hingga menjelang siang, “Kalau ga baik-baik aja, Kak Nalen ga akan berani begitu, iya kan?” ingin percaya bahwa semuanya bukan sandiwara, namun tidak bisa.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

No responses yet

Write a response