“As, you trust me, right?”
Di malam itu, di April yang entah mengapa lebih dingindari April-april yang lalu, untuk pertama kalinya seorang Asoka menyilahkan kembali seseorang menjemputnya. Bayang masa lalu tentang bagaimana ayah dan suaminya berujung tidak menyenangkan kala menjemputnya dengan mobil, selalu menghantui malam-malamnya.
“But do we really need to send them to jail, Pet?”
“You heard me, As. You heard the voice records. They tried to kill you.”
Sang penumpang hanya diam, mencerna seluruh informasi yang baru saja didengarnya, segala berita yang menjawab pertanyaan tentang mengapa dua tahun balakangan Petra bersikap jauh lebih protektif padanya jika menyangkut kawan lama mereka — Puspa.
“They tried to kill me, but ended up almost killed Mas Nalen instead….”
Petra membiarkan keduanya hanyut dalam sepi yang ditemani melodi rintik hujan yang beradu dengan jendela dan atap mobil hingga sampai di tujuan. Asoka sibuk mengatur napas, bersiap untuk turun dan menghadapi apapun yang akan dunia suguhkan padanya di dalam cafe itu. Decak terdengar saat dirinya melihat jam, 19:17, dia terlambat.
“Gue ga akan maksa lo, pada akhirnya semua keputusan adalah hak lo. Tapi semisal lu ‘mau’, just call me anytime.”
“I will. Thanks, Pet.”
Yang lebih tua turun dari mobil hitam yang mengantarnya pada lokasi di mana semuanya berakhir di malam itu, lokasi yang mungkin juga akan kembali membuka kisah baru hidupnya.
Pandang matanya dilempar ke sana dan ke mari, kiri dan kanan, setiap sudut dan bangku cafe. Nalendra tidak ada di sana. Ukir masam kembali berada di wajahnya, mungkin benar firasat buruknya tentang lelakinya yang tidak akan datang. Pesan singkat ia tulis untuk Petra yang (ternyata) masih berada di parkiran, memutuskan untuk menunggu kabar dari sahabatnya.
Dirinya berbalik badan, menelan bulat-bulat rasa kecewanya yang sama sekali bukan hal mengagetkan, sakit pun rasanya tidak terlalu. Hanya sedikit gelitik halus di ulu hati. Namun langkah terhenti kala matanya terpaut pada mata coklat gelap laki-laki yang berada di ambang pintu, basah kuyup karna sebertinya telah menerjang hujan.
Nalendra. Dia datang.
“Halo…? Kamu Asoka, kan? Saya ingat muka kamu dari biografi di nov-”
“Oh, kirain ga akan dateng. Baru mau pulang.”
Beberapa tangkai bunga bermekaran di relung dadanya, ada senang yang tidak pernah diundang akhirnya datang menghampiri. Kakinya bergerak, berjalan menjauhi Nalendra untuk duduk di salah satu meja yang kosong. Pesan singkat untuk Petra berubah menjadi ‘Dia di sini’, untuk sekadar memberi kabar bahwa sahabatnya tidak perlu menunggunya.
“Maaf terlambar, tadi ada ur-”
“Udah biasa, dokter bedah emang suka ingkar- maaf, ga bisa digeneralisasi. Dokter Nalen emang biasa ingkar, iya kan, dok?”
Dua alis Nalendra berpautan, ekspresi bingung lebih tergambar di wajahnya daripada ekspresi tersinggung. Mulut Asoka yang blak-blakan dan terkesan lancang kembali, temu keduanya meninggalkan kesan sama seperti makan malam pertama keduanya. Makan malam pertama yang tidak ada dalam benang memori Nalendra.
Bedanya, yang lebih tua sama sekali tidak merasa tersinggung. Dia justru merasa bersalah.
“Mau pesan sesuatu? Saya yang bayar, sebagai tanda maaf. Setelah pesan kita baru berbincang, sembari menunggu makanannya.”
“Kayak biasa aja.” Asoka tersenyum dan membungkam kembali mulut Nalendra yang telah terbuka, seperti hendak protes, “Lo ga inget apapun, i know. But what about use your feeling? Katanya mau ingat, klau mau ingat harus usaha. Iya kan, Mr. Husband?”
Nalendra merasa benar-benar bisa mati penasaran akibat sosok di hadapannya.
“Mau dimulai dari mana?”
“Dari awal. Dari semuanya berawal.”
Angguk menjadi jawaban Asoka sebelum satu persyaratan tertuju pada yang lebih tua, “Gue ceritain semuanya, dari awal. Dengan syarat: lo ga boleh motong, kalo ada pertanyaan lo simpen dulu sampe gue selesai. But the thing is, it’s not gonna be a short story. Gimana? Deal?”
“Deal.”
Asoka memulai percakapan dari malam hari keduanya bersitegang dengan perjanjian konyol, perjanjian yang berisikan perasaan dan perpisahan, perjanjian yang pada akhirnya dibatalkan. Memori tentang pertengkaran, bincang, hingga damai keduanya disajikan dalam balut tawa. Entahlah, namun Asoka merasa semua memori itu lucu. Tawa yang lebih muda tanpa sadar membawa Nalendra pada senyum yang membuat pundaknya meringan.
Tawa dan cerita yang tanpa sadar menggambar bayang-bayang buram di kepala.
Kini dua mangkuk nasi dengan salmon tersaji di hadapan, di tengah cerita yang belum rampung jalannya. Nasi salmon dan salad, dengan cokelat panas menjadi pilihan Asoka tiap kali mengunjungi cafe ini, karena-
“Saya ga tau menu kesukaan kamu, tapi saya rasa ini pilihan paling aman? Sudah malam begini, saya takut kalau pesan ayam akan digoreng terlalu kering karena angetan. Dan di luar hujan, lumayan dingin jadi saya pesan coklat panas untuk kamu, dan kopi untuk saya. Is it ok? Atau mau tukeran?”
Hafal, Asoka tau ketika Nalendra membuka suara begitu panjang, laki-laki itu menginginkan validasi dari dirinya. “Absolutely okay, doc.” keduanya saling melempar senyum, menyadari fakta bahwa Asoka tidak pernah hilang dari kepala Nalendra, hanya bersembunyi entah di mana di dalam sana. Menunggu logika akhirnya sadar dan menjempunya di hati.
Makanan disantap, bersama cerita dan beberapa tanggapan yang menyelingi suapannya. Dugaan Nalendra tentang dirinya yang menggugat cerai Asoka ternyata salah besar. Pikiran buruknya tentang Asoka yang bersikap buruk dan membuatnya jengkel juga jauh dari benar.
Selama ini, dirinya yang bersalah.
“Tapi itu bukan salah lo juga sih, kan waktu itu lo lupa ingetan. Mak lampir itu aja yang manfaatin keadaan.”
“Tunggu, Asoka. Sebentar. Saya coba rangkum dulu…jadi, kita berdua dijodohkan, dan selama itu i still hangout with her? Di hari pernikahan saya berduaan dengan dia di ruang pengantin saat kamu menjamu tamu? Saya ke luar kota untuk pengabdian but ‘having fun with her’? Semua selesai, kita berbaikan, untuk sekali lagi semuanya di mulai dari awal dan saling jatuh cinta, tapi- saya- kamu…saya-”
“Kenapa? Susah ya, bilang “You was insane and went crazy over a hickey-look-alike-bruised on my neck, but then i slapped you and you left. Dan pada akhirnya, kamu gugat cerai saya.” susah ya, dok?”
“Asoka saya-”
“Udah dimaafin, kok. Udah kan? Udah tau semua? Ya udah ya, gue pam-” pergelangan tangannya ditahan, berusaha menghentikannya untuk pergi dari sana.
“Asoka saya mohon….” sebelah alisnya terangkat, dirinya kembali duduk untuk mendengar kalimat seperti apa yang akan Nalendra lantunkan selanjutnya.
“Saya ga ingat apapun, tapi entah kenapa saya ngerasa kamu ga bohong…artinya, saya minta maaf- oke, iya, kamu bilang kamu sudah maafin saya, tapi engga, Asoka. Bukan begini…tolong terima saya lagi, tolong kasih saya kesem-”
“Lo ke mana dua tahun ini? Udah bahagia kan, sama Fiany? Orang yang sangaatttt mencintai lo, dan hampir ngebunuh lo di saat bersamaan.”
“Fiany apa?”
“Eh, keceplosan. Ya…seenggaknya sekarang lo tau lah ya.”
Nalendra menggenggam kedua tangan Asoka, mulutnya terkunci rapat, merasa sulit untuk mengungkapkan apa yang dirinya rasa. Asoka benar, dua tahun ini dirinya bahagia bersama Fiany. Namun ada hampa yang tidak bisa berbohong tentang kerinduan yang secara aneh menguap saat netra keduanya bertemu.
Yang lebih tua bisa saja membawa surat cerai yang ditemukannya kemarin, meminta Asoka juga menanda tanganinya dan menjadwalkan persidangan. Namun tidak, Nalendra merasa laki-laki di hadapannya menyimpan jutaan misteri yang harus selalu ia usahakan bahagianya.
“Oke, lupain Fiany, kita bahas soal dia belakangan. Ayo bahas soal kita…karna- Asoka saya berani sumpah rasanya aneh.”
Dirinya menunduk, menempelkan keningnya pada genggam yang membalut kepal tangan Asoka. “Saya ga punya memori apapun tentang kamu, saya ga ingat apapun. Tapi rasanya saya kenal kamu, jauh dari saya kenal siapapun. I feel like i was deeply in love with you, then fucked everything up, and that suffocates me, Asoka please….”
“Dok-” tenggorokannya tercekat saat Nalendra mengangkat kembali wajahnya, menatapnya lurus dengan mata memerahnya. Cukup aneh mengingat Nalendra belum pernah memperlihatkan emosi menggebu-gebu di depannya seperti ini.
Dan ya, Nalendra yang hancur malam itu tidak terhitung. Karna jelas, Asoka enggan melihat sosoknya.
“Apa saya harus berlutut, Asoka?”
“Papap!!!”
Keduanya mengalihkan pandangan, hampir jam sepuluh malam dan dua pemuda yang besok harus sekolah justru datang menghampiri, ke hadapan mereka. Marcus dan Chris, anak-anak Asoka.
“Pa..pap? Asoka??? Mereka anak kita?” lidah Asoka kelu, bukan, bukan begini rencananya. Bayang manis sempat singgah di benaknya, tentang dirinya dan Nalendra yang kembali bersama, tentang keluarga kecil mereka dengan kedua anaknya. Namun bayang indah itu berganti menjadi mimpi buruk, Asoka ingat jelas Nalendra tidak menginginkan anak.
“Wow, pap…padahal Marcus bercanda soal ayah baru.”
“Ayah??? PAAAPPP CHRIS PUNYA AYAAAHHH?????” mulut kecil Chris dalam sekejap dibekap Marcus, melihat banyak pasang mata yang tidak menyukai teriakan tiba-tiba bocah berumur 9 tahun itu.
“Asoka…kenapa kamu ga kasih tau saya tadi…?”
“Dok- kak- duh, anu-” Asoka tidak tau harus mengatakan apapun, Nalendra bahkan sama sekali tidak meliriknya, seperti tuli dengan suaranya yang terbata-bata. Pandangan yang lebih tua fokus bergantian ke arah dua anaknya. “Dok-”
“Halo jagoan kecil, tadi siapa namanya?? Sini, mau dipangku? Waduh duh duh, udah besar ya anak ayah…apa kabar, nak?”
“Chris! Aku Chris, dan kata papap chris udah besar!”
Marcus terlihat kehilangan arah, menatap tiga manusia di hadapannya bergantian, masih berdiri dengan mulut yang seolah tidak bisa mengatup, menunggu penjelasan. ‘Anak ayah?’ ‘apa kabar?’ apa maksudnya???
“Halo, Mar…cus?” matanya berkedip beberapa kali, sebelum akhirnya menjawab sapaan itu, “Hai juga…om?”
“Kok om?” kini kedua sama-sama bingung dan membuat Asoka pusing bukan kepalang. “Terus apa dong- Pa sumpah, om ini siapa?”
“Ok, Marc, duduk. I’ll explain everything after that incident.”
“She tried to kill you…but ended up almost kill me….” Nalendra kehabisan kata-kata, diam seribu bahasa dengan Chris yang sudah tertidur pulas di pangkuannya.
“Pap…tell me, should i fight her or-”
“I’ll send her to jail, oh, Puspa too.”
Hening. Ada rasa mengganjal di dada Nalendra, namun sisi lain dari dirinya mengatakan bahwa keputusan Asoka adalah benar. Dengan niat busuk Fiany, bisa saja malam itu dia kehilangan nyawa, ‘hanya’ kehilangan ingatan dan patah tulang di beberapa bagian adalah sebuah keberuntungan, mengingat seberapa besar skala kecelakaannya.
“Papap…Chris ngantuk….” suara parau Chris yang mengigau dalam tidurnya memecahkan hening di sekeliling tiga lelaki lainnya.
“Gimana kalau kita pulang dulu? Udah malem, kalian besok sekolah kan?”
“Iya om- eh yah maksudnya…’sumpah pap, aneh banget’.” Nalendra tertawa mendengar bisik Marcus yang terlalu besar.
“Aneh gimana?” tawa Marcus terdengar, tengkuk yang tidak gatal ia garuk untuk menghilangkan rasa malunya. “Ya aneh aja, yah…dalam satu jam, tiba-tiba abang tau kalo ternyata papap punya suami dan abang punya ayah….”
“Hmm…udah abang-ayah ni jadinya???” goda jahil Asoka diam-diam untuk menutup kepanikan yang masih ada di benaknya.
“Waduh, gimana ya, nanti deh pap, abang ospek dulu.” ketiganya tertawa, dan beranjak dari sana, pulang dengan mobil yang Marcus bawa karena dua tahun ini Nalendra selalu menggunakan kendaraan umum (hal itu pula yang membuatnya tadi basah kuyup).
“Kamu tuh bang, dibilang jangan sering-sering pakai mobil, kamu belum punya sim!”
“Aduh pap, iya deh maaf. Lagian kan malem-malem ga ada polisi. Ada manfaatnya juga tau abang bawa mobil! Kalo abang bawa motor, kita mau bonceng empat?????”
Asoka hanya berdeham mendengar argumen anaknya yang duduk di bangku belakang, menjaga sang adik yang telah tertidur.
“As, boleh tanya?”
“Ya?”
“Apa selama pernikahan kita…kamu panggil saya ‘Dok’?”
Asoka melihat center mirror, menangkap bayangan Marcus yang pura-pura tertidur. Tau benar anak sulungnya yang jahil itu tengah menguping.
“Mas….”
Lirihnya terdengar, membuat Nalendra tidak yakin dengan apa yang didengarnya. “Gimana?”
“Mas. Aku panggil kamu ‘mas’. Bukan ‘dok’ dengan lo-gue.”
“Coba panggil?” Asoka mendecih dan tertawa ringan, kenapa laki-laki di bangku penumpang sebelahnya mendadak agresif?
“Mas Nalen, ini ke kontrakan ku dulu ya? Ambil baju anak-anak sama beberapa barang lain. Gapapa kan, mas?”
Dan di detik itu, Jantung Nalendra berdetak jauh lebih cepat dari yang seharusnya. Tidak pernah mengira panggilan “Mas Nalen” dari bibir Asoka bisa membuat hatinya menghangat.
“Boleh.”
“Sampe…udah lama ga ke apart ini. Aku masuk duluan ya mas, mau ke toilet. Yang di lobby kok.”
“Iya, bang kamu bantu ayah angkut barang ya.”
“Siap kapten!!”
Melihat marcus yang turun dari mobil untuk membuka bagasi, Nalendra menahan Asoka yang juga akan turun dari kursi kemudi.
“Kenap-”
Satu kecup membungkam mulut Asoka, tanpa lumatan, tanpa nafsu. Hanya ada lembut dan tulus yang dibalut rindu di sana. Nalendra perlahan membuat jarak antara keduanya, wajah mereka tidak lebih dari 10cm, tangan kanan Nalendra masih di pipi kiri Asoka, mengelusnya lembut selama mata mereka masih terkunci.
“Asoka, terima kasih…i guess i will fall in love with you, all over again…terima kasih atas kesempatan dan kejutannya…i always wanted a little happy family, i wanted a child. Terima kasih sudah bawa Marcus dan Chris ke hidup saya….”
“Mas-”
“PAP INI BAGASINYA GA BISA DIBUKAAA!!”
“PAPAP ABANG BERISIIKKKK, CHRIS NGANTUUKKKK!!!”
Marcus si jahil, dan Chris si manja.
Nalendra turun dari mobil, bermaksud membantu Marcus yang mulai menurunkan barang mereka dari mobil, meninggalkan Asoka yang membangunkan anak bungsunya di bangku belakang. Meninggalkan Asoka yang masih memproses ucapan Nalendra.
“Kamu berubah, mas. Dan aku harus berterima kasih juga soal itu…let’s be happy with our little family, bahagia dengan dua jagoan kita.”
Asoka mencintainya.
Selalu mencintainya.
Dan tanda tangan di atas kertas itu, akan selamanya menjadi saksi kisah pelik mereka berdua.