Tentang Jujur

🥀
4 min readFeb 5, 2023

1 Februari 2022, ketika (hampir) segalanya diutarakan.

“Lama.”

“Maaf….” raut bersalah Asoka berubah setelah melihat ekspresi kaget dari lawan bicaranya. Bingung menjadi satu-satunya gambar yang terpahat di wajah Asoka.

“Kenapa kaget?”

“Eh…ah, ga. Bukan apa apa.” Nalendra menggeleng kecil, entah untuk menjawab pertanyaan atau menepis lamunannya.

Tanpa sepatah kata, Nalendra melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung tinggi yang nantinya akan mereka huni. Masing-masing hati terasa berat, masih tidak menyangka jalan hidupnya akan seaneh ini. Perjodohan di abad 21? Jangan bercanda.

“Apartemen ini ada 25 lantai, mau lihat lantai berapa?” pertanyaan dilayangkan dengan acuh, seolah tidak peduli bagaimana keputusan sang calon ambil.

“Hm…tujuh?”

“Lagi bercanda ya?!”

“Muka gue keliatan bercanda ga? Lo tanya ya gue jawab. Kalau ga setuju ya urusan lo.”

“Kita lihat lantai 19.” Asoka menggeleng kuat, memperlihatkan ketidak setujuannya dan menatap mata yang jangkung untuk ‘serius’. Meski dirinya juga tau tidak satupun dari mereka yang sedang bermain-main.

“Kok jadi lantai 19?! Lo tau ga, apartemen semakin atas semakin mahal?! Belum lagi biaya perawatan gedung, fasilitas, dan yang lain?! Bisa sewa apartemen di lantai tujuh pun syukur!”

Senyum Nalendra justru membuat jengkel Asoka. “Galak betulan ternyata.” kalimat singkat yang membuat Asoka menyerah. Setahun bersama dokter gila ini bisa membuatnya darah tinggi, pikirnya.

“Kamu bisa mikir rasional, ya? Saya kira isi otakmu omong kosong aja, seperti kemarin.”

“MAKSUD L- Oh…kemarin ya…maaf ya….”

“Loh?”

Asoka mengarahkan untuk berbincang sembari berjalan, agar tidak membuang waktu katanya. Perbincangan bergeser topik tentang bagaimana susunan ruang apartemen yang akan mereka pilih, lantai berapa, dan kenapa.

Lelah tubuh pasti dirasakan, namun otaknya kini berada di tahap yang berbeda. Setiap keputusan yang dibuat selalu ditanyakan alasan selogis yang bisa dipikirkan. Hal wajar, namun melelahkan untuk Asoka.

“Lantai 17, dua kamar.”

“Tiga! Satu kamar utama, satu kamar tamu, satu lagi kamar an-”

“Saya ga mau punya anak.”

Hening. Asoka membeku di tempat, menatap lekat retina yang lebih tinggi seolah berharap ada rangkaian kata yang bisa dibacanya untuk menjadi jawab atas kagetnya.

“Y-ya …?”

“Saya males untuk bahas ini. Tapi kata teman-teman yang sudah pengalaman, ini harus didiskusikan sama pasangan sebelum menikah?”

“H-hah? Ga….tau. Mau ngobrol?”

Obrolan berlangsung, selimut canggung yang memeluk mereka perlahan menghilang ditiup angin lantai 17. Nalendra memutuskan untuk mengalah, memesan apartemen dengan tiga kamar tidur dan dua kamar mandi. Sebagai rasa terima kasih, Asoka tidak kembali bertanya ucapan yang lebih tua. Meskipun sebenarnya harus.

“Oh iya, soal tadi malam, gue minta maaf …”

“Maksudnya?”

“Ga seharusnya gue ngomong soal…lo tau…c word, semudah itu. Lo ga anggap serius kan?”

“Cerai maksudnya?” Nalendra tertawa singkat, menggeleng untuk menjawab khawatir yang terpatri di wajah yang lebih muda. “Engga kok, saya tau kamu lagi emosi.”

Senyum lega terpatri di wajah Asoka, dengan matang bertanya, “Berarti, perjanjian tadi malam, batal kan?” Nalendra mengangguk tanpa ragu, konyol juga jika dipikir-pikir bahwa dirinya hampir setuju, “Batal.”

Perjanjian yang belum sepenuhnya disepakati akhirnya terhapus. Meski keduanya masih terjebak pada hati yang digenggam orang lain, namun pasti ada jalan. Setidaknya itu yang Asoka yakini, sampai-

“Kamu ada pacar?”

“Putus, belum lama. Lo?”

“Ada.”

Kelopak mata Asoka melebar, tidak percaya dengan apa yang dikatakan. Dirinya berpikir ini hanya basa-basi, namun nyatanya tidak. Dokter di hadapannya itu memiliki kekasih, namun setuju untuk menikah dengan orang lain? Benar-benar gila.

“Dan lo pilih untuk terima perjodohan?!”

Diam, hanya itu yang dilakukan Nalendra saat ini. Masalah percintaan adalah hal paling asing dalam hidupnya. Hubungannya dengan Puspa -mantan kekasih sekaligus koleganya saat ini- pun tidak bertahan lama. Kandas bahkan sebelum berlayar. Dengan Fiany pula belum lama, seolah pencitraan antar sesama dokter yang bertukar kabar lewat pesan digital dan makan siang bersama.

“Semalam kamu benar, Asoka. Saya ga lebih dari boneka yang hidupnya disetir keluarga.”

“Bunda bilang lusa kita fitting baju, lo tau?” dan di sana Asoka, menjadi dirinya sendiri yang hobi lari menjauh dari masalah dan mudah melempar topik pembicaraan kesana kemari. Sedikit berniat menghidupkan suasana agar tidak semakin kelabu.

“Maaf?? Saya bahkan belum urus cuti!”

“Kak ….”

Untuk kali ini, kaget bukan main benar-benar terlihat jelas. Nalendra bahkan tersentak kala Asoka menggenggam kepalan tangannya, seakan berusaha menguatkan. Dan apa tadi? ‘kak’? Kepala Nalendra benar-benar dibuat semrawut.

“Sebenarnya gue ga ada hak ikut campur, tapi lo terima perjodohan ini, tandanya lo siap dengan semua resiko dan tanggung jawab. Salah satunya adalah kasih tau pacar lo dan ikut urus pernikahan ini. Perjanjian konyol selepas makan malam batal, tapi semua kemungkinan terburuk tetap ada kan? Di situasi begini, kita harus saling jujur…minimal sama diri sendiri.”

Asoka tersenyum lembut, hanya dapat balasan hembus napas kasar. Lelah, itu yang Nalendra rasakan.

“Saya harus pergi, sudah sore. Kamu bisa pulang sendiri?”

“Tenang aja!”

Nalendra melangkahkan kakinya pergi, bersama Asoka untuk akhirnya berpisah di pintu keluar gedung.

“Hei dok…jodoh ga akan kemana. Juga…good luck?

Thanks. Oh iya, Asoka.“

“Ya?”

“Perjanjiannya batal, taruhannya?”

Detik itu juga Asoka melenggang pergi, setelah melayangkan pukulan yang (cukup) keras ke perut Nalendra.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

No responses yet

Write a response