Angin berhembus malam itu, cukup kencang dibanding siang tadi saat keduanya terjebak di dunia masing-masing. Seharian penuh Asoka mencoba membuat masakan kesukaan suaminya yang… menghabiskan waktunya dengan ponsel dan menghubungi entah siapa yang ada di seberang layar.
“Soka? Belum selesai?” untuk pertama kali, setelah sekian jam keduanya dipisahkan oleh sepi yang mendampingi, Nalendra memutuskan untuk menyimpan ponselnya dan benar-benar menitik perhatiannya pada Asoka.
“Gagal lagi ….”
Asoka menunduk, mungkin menyerah dengan masak-memasak. Yang lebih tua tak bersuara, tangannya melayang untuk mengambil sumpit.
“Kita makan di luar, gimana?” tawar lembut yang diiringi usaha keras untuk mengunyah potongan daging yang bisa kapan saja melepas rahang bawahnya. Alot.
Musnah sudah bayangan untuk duduk bersebelahan, menikmati makan rumahan dan suara televisi di depan mata. Bercengkrama, membuka cakap antara hari dan diri yang sebelumnya tidak saling mengenal.
“Kenapa cemberut begitu?”
Nada datar yang masuk ke telinga selalu membuat yang muda sulit menerka, emosi dan rasa macam apa yang suaminya coba salurkan.
“Asoka, Kamu masih belajar. Anak kecil ga akan bisa naik sepeda kalau belum pernah jatuh, kan?”
Dirinya membeku di tempat, bukan akibat pertanyaan yang disuguhkan, melainkan gerak tangan yang tidak pernah diekspektasikan. Si jangkung melebarkan kedua tangannya ke samping, menawarkan pelukan pada yang lebih muda di malam dingin itu.
“Maaf ya, nanti aku belajar lagi.” dirinya berhambur dalam peluk kokoh Nalendra, menghirup aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya.
Tidak ada rasa lain selain nyaman dan aman. Ketenangan bahkan hadir dalam kepalanya. Asoka memejamkan matanya, mengeratkan pelukan saat pucuk kepala mendapat usap halus.
“Ayo, nanti keburu tutup. Mau makan apa?”
Hari itu, sebelum keduanya lenyap dalam dunia masing-masing, sebelum Asoka sibung dengan masakan dan Nalendra dengan ponsel serta tumpukan kartasnya, adalah waktu yang-andai bisa-ingin Asoka bekukan. Nalendra dan Asoka, keduanya duduk santai di sofa ruang tengah, bercengkrama santai dan sesekali bergurau. Membicarakan apa-apa saja yang secara spontan terlintas di kepala.
“Buat buku itu susah ya?” Nalendra membuka suara, membalik-balikkan lembar halaman novel favoritnya, yang kebetulan adalah ciptaan Asoka.
“Hm…lumaya. Tapi ga sesusah operasi pasien, mungkin?” tawa kecil menyambut kalimat Asoka. Nalendra hanya mengangguk-angguk sembari sesekali menghirup aroma tubuh dari pucuk kapala Asoka yang bersandar di bahunya, dan ada dalam rangkulnya.
“Sedih banget kamu buat cerita…”, “Iya, sekalian curhat.” timpal asal Asoka sukses membuat Nalendra menghentikan aktivitas membacanya. Mata yang lebih tua menajam, bersiap menghujani suaminya dengan pertanyaan ‘Siapa yang nyakitin kamu sebegitunya?’ atau apalah sejenisnya.
Asoka menegakkan tubuhnya, terpingkal melihat Nalendra yang memasang wajah tak enak. Dengan usil dirinya menarik pipi Nalendra seakan kue mochi jepang ada di sana. “Bercanda kakakkk!! Uluh uluh khawatir banget, jelek mukanya!”
“Usil.” Asoka menyingkirkan buku yang sudah tertutup di kemari Nalendra, menungguk izin dari yang lebih tua untuk menjadikan pahanya sebagai bantal. Keduanya kembali berbincang, membicarakan ini dan itu sembari Asoka memainkan jemari tangan kiri Nalendra, dan sang suami yang juga sibuk mendengarkan celoteh Asoka sambil memainkan rambut hitamnya.
Hingga waktu makan siang hampir tiba, keduanya berpisah untuk Asoka mencoba memasak, dan Nalendra menghubungi…entah siapa di seberang telponnya.
Kini mobil melaju dan membelah malam dengan lampunya, senandung keluar dari kursi penumpang, membiarkan bintang di langit tau bahwa dirinya sedang bahagia…terlepas dari usahanya yang gagal lebih dari tiga kali untuk sekadar membuat makan malam.
“Kak, kamu kenapa sih….”
“Kenapa apanya?” satu persatu hidangan siap di depan mata, pula satu persatu topik yang dibuka.
Tidak ada jawaban lagi, hanya senyum yang terpatri dan membuat bingung laki-laki di hadapannya. Asoka sendiri tidak mengerti, tidak memiliki susun kata untuk mengatakan bahwa Nalendra…manis. Visual, fisikal, dan perlakuannya.
“Uhm…itu…Kak Nalen kayaknya sibuk banget? Ada urusan apa sih di RS? Itu ada yang telepon….”
Dirinya bernapas lega. Atau tidak? Ponsel Nalendra untuk beberapa kali bergetar, menampilkan berbagai nama kontak dari tiap-tiap kotak pesan.
“Biar, bisa saya tanggapi setelah makan.”
“Tapi kalau pent-” ucap terputus akibat bungkam dari potongan daging ayam yang disuap ke dalam mulut, “Makan.” kata final yang membuat Asoka tidak berkata lebih lanjut.
“Kamu lebih penting.” ditengah suhu dingin, Asoka bersyukur rona merah yang datang dapat disamarkan. Menyalahkan angin dingin di luar, dan bukan wajahnya yang memanas.
“Tadi apa sih Kak? Aku ga sengaja dengar waktu Kak Nalen telponan di ruang tengah?”
“Yang mana?” oh, satu hal yang Asoka lupa di hari itu, bahwa yang lebih tua menghabiskan waktu berjam-jam dengan ponsel dan kertas yang berhamburan di meja, setelah keduanya bercengkrama di sofa. Tidak hanya sekali Nalendra bercengkrama melalui panggilan.
“Ituuuu, yang…dipending?”
“Yang diundur? Pelantikan professor ahli yang baru.”
“Seharian bahas itu?” tidak, dirinya tidak mengerti. Tapi tidak salah juga untuk tau lebih lanjut.
“Ada yang lain, tapi itu yang paling besar masalahnya.”
Percakapan terus berlangsung, satu persatu menu yang tersaji juga lenyap dari piring-piring. Keduanya berpisah dari meja, Asoka melangkah ke arah kasir dan Nalendra yang pergi ke mobilnya.
“Ah iya…mungkin Kamis? Iya, Asoka ga kasih izin. Kurang lebih begitu. Oh? Boleh kalau bisa. Kalau kamu yakin begitu, ga mungkin aku bilang ga. Terima kasih juga, Fian…ya, sampai ketemu hari Kamis.”
Kalimatnya terlalu jelas, padat dengan atau tanpa mengetahui suara yang ada di seberang. Asoka mendengarnya dengan pasti, perihal Nalendra yang menghubungi (atau dihubungi?) Fiany, perihal mereka yang berjaji untuk saling bertemu di kemudian hari, serta….
Perihal Nalendra yang menyebut dirinya sebagai ‘aku’.
Asoka baru merasakan manisnya sebuah sikap, dari seseorang yang pernah berkata bahwa hadirnya tidak diharapkan. Asoka baru merasakan bahagia, dari lembutnya suara seseorang yang pernah kasar membentaknya. Namun Asoka tidak pernah sedekat itu dengannya.
“Kak?” tidak ada perawakan terkaget dari yang lebih tua setelah sapa dadakannya, seolah tidak ada yang beruhasa dirinya sembunyikan.
“Hei, sudah? Mau pulang sekarang?”
Asoka masih menikmati lampu-lampu di sisi jalan, rasa sedih yang tanpa aba-aba hinggap ditutupinya dengan kembali bersenandung. Satu langkah ke depan, semakin Asoka mengenal dia, semakin dirinya merasa jauh.
“Kak, Kak Nalen kaku ke semua orang ya?” tanya yang seharusnya tidak diperlukan jawabannya.
“Ga juga, tergantung seberapa dekat saya dan orang itu.”
Jauh, Asoka masih terlalu jauh untuk menggapai Nalendra, bintangnya.
“Kenapa?” matanya masih terfokus ke depan, menembus kaca depan dan lamunan Asoka yang entah sejak kapan terhenti senandungnya.
“Eh engga…Kak Nalen ingat yang kemarin malam kakak bilang? Tentang sama-sama belajar untuk saling mengerti dan jalan bareng-bareng?”
Angguk mengantar Asoka pada pertanyaan utamanya, “Kalimat itu…betul akan begitu?”
Jawaban selanjutnya tidak kalah mengejutkan. “Saya ga pernah bohong, Asoka.” kalimat sederhana yang memaksa Asoka kembali dalam gelapnya tanda tanya atas apa yang sebenarnya dirasakan keduanya.
“Ga pernah bohong ya….”
Nalendra pernah seolah mengusir jauh diri dari hidupnya, dan lalu menggulung benang merah keduanya untuk kembali berdekatan, saling rengkuh dan menjaga seolah hubungan yang ada adalah berharga.
Nalendra pernah menganggapnya tidak lebih dari orang tak dikenal yang egois dan kekanakan, namun Nalendra juga pernah menatap mata dan memeluk tubuh seolah Asoka adalah dunianya yang harus digaja.
Hingga Asoka sampai pada satu konklusi, dimana “Kak Nalen itu kayak matahari, ya….” cicitnya.
Asoka, hanya satu dari sekian banyak planet yang berotasi, memutar dan jatuh hati pada pusat tata surya yang indahnya menghias galaksi.
“Kamu istirahat, cucian piring biar saya yang urus.”
Mata Asoka yang telah setengahnya tertutup, kembali terbuka dengan penuh. Setelah membersihkan diri dan menghabiskan separuh malam, menonton acara televisi dan berbincang ringan, Asoka melupakan mala petaka yang ia ciptakan di dapurnya.
“Eh tapi itu kan-” Nalendra secara lembut mendorong Asoka ke dalam kamar, tersenyum dan mengucap selamat malam sebelum kembali ke sudut rumahnya yang berantakan.
“Kak…trimakasih, dan maaf.”
“Untuk?” tatap bertemu rasa, senyum pengantar tidur kembali menghias wajah manis di ambang pintu, “Untuk belum bisa jadi yang terbaik.”
Pintu tertutup, yang lebih muda berbaring di ranjangnya, menahan mata agar tidak tertutup terlalu cepat. Setidaknya hingga sang kepala keluarga selesai dengan alat masak yang kotor, dan terdengar suara pintu di kamar seberang telah tertutup.
Matanya menatap atap putih kamar dan melukis bayang Nalendra di sana. Jemarinya memutar-mutar cicin yang melingkar di jari manisnya. Isi hati dan kepala bercampur aduk, seluruh emosi yang bertentangan secara aneh bersatu didalamnya.
“Kak, Aku tau Kak Nalen juga ga nyaman dengan hadirnya orang baru. Aku paham Kak Nalen juga ga pernah mau pernikahan ini ada. Tapi kasih aku waktu ya Kak…untuk buat kita sama-sama jatuh cinta, meski rasanya mustahil. Untuk sama-sama terbiasa dan bisa menerima. Untuk…jadi yang Kak Nalen mau….”
Monolog panjangnya menutup hari, bersama doa yang disaksikan rembulan, Asoka tertidur.