Sekian jam sudah keduanya menghabiskan waktu dan energi hanya untuk beberapa jepret foto yang nantinya akan menjadi hiasan altar, juga album pernikahannya. Yang Nalendra butuhkan saat ini adalah tempat sepi, dan mungkin sunyi. Sekadar untuk mengisi kembali energi yang hampir dikuras habis.
“Gue mau lo bawa ke mana?” atas pertanyaan Asoka, Nalendra hanya diam dan mengambil ponselnya di atas dashboard yang ada di depan sang penumpang. Netranya hilir mudik ke layar dan jalan, memanfaatkan waktu dan efisiensinya.
“Artina1 Sarinah kan…geleri seni?” lagi, Nalendra hanya diam. Berusaha fokus pada jalan, memastikan tiap insan bernyawa yang ada dalam mobilnya akan selamat.
“Dari mana lo tau gue suka ke tempat begini?” pertanyaan yang terlontar tidak lantas membuat Asoka mengalihkan pandang ke arah lelaki di sebelahnya. Dirinya masih mengulang-ulang bacaan di layar ponsel mengenai tiket masuk elektronik galeri seni yang telah dipesan.
Nalendra tersenyum dan mulai membuka suara, pada akhirnya. “Kamu suka? Syukur kalau iya.”
Asoka tak membalas, untuk beberapa saat percakapan berhenti. Keduanya sibuk dengan isi kepala masing-masing, entah memikirkan apa, yang jelas mereka menikmati suasana hangat dalam sunyi.
“Tiba-tiba gue penasaran deh dok….”
“Apa?”
“Jangan bilang ini dua tiket lo beli untuk jalan sama mantan lo, tapi ga jadi karna lo keburu putus?!”
Pandangan Asoka teralihkan dari jendela di sisi kiri, matanya yang seolah membara dari kobaran api amarah perlahan berubah bingung. Manik coklat gelapnya berhasil menangkap bayang nyata Nalendra yang tertawa ringan. Baru ini Asoka melihatnya tertawa.
Tidak, tidak baru kali ini. Sudah pernah, namun yang sekarang terlihat…berbeda.
“Itu dari kembaran saya, kado maaf karna ga bisa datang ke pernikahan kita.”
“Oh gitu … eH TUNGGU LO PUNYA KEMBARAN?!” Nalendra mengangguk membenarkan. Pergerakannya tidak ada yang aneh, seolah tidak terkejut karna sudah memprediksikan teriakan Asoka yang tiba-tiba.
“Ada, namanya Farendra, sekarang di Singapura. Sibuk mengurus perusahaan.”
Keduanya kembali terdiam, seakan topik pembicaraan dengan mudahnya menguap bak karbon yang dibuang knalpot mobil. Detik demi detik berlalu, menelusuri sisi jalan bersama mobil yang terus melaju, kini keduanya telah sampai di pelataran tujuan.
“Ayo masuk.”
Asoka dapat mendengar kalimat singkat Nalendra yang mengajaknya melangkahkan kaki ke dalam gedung megah di depannya. Asoka selalu ingin pergi ke tempat penuh keindahan seperti ini, namun dirinya bukan penggemar lautan manusia yang bisa menghanyutkannya dalam kesendirian pada rasa asing tak bertuan, di tempat tak dikenal.
“Ini memang weekend, tapi ga terlalu banyak orang tau soal galeri seni temporer ini. Di dalam cuma ada sedikit orang.” seolah mengerti Asoka, Nalendra berusaha meyakinkan yang lebih muda.
Nalendra hanya seorang ahli bedah yang bisa menghabiskan 360 harinya di rumah sakit, dirinya bukanlah seorang astronom yang pakar perihal benda-benda langit dan keindahannya. Namun dirinya dengan jelas bisa melihat indah kilau bintang-bintang di mata Asoka.
Sudah hampir dua jam sepasang makhluk kesayangan Tuhan berjalan di dalam gedung megah itu, beriringan melewati dan mengagumi satu karya ke karya yang lain. Tanpa sadar saling menikmati nyaman dan tenang dari eksistensi masing-masing, hingga keduanya pula sadar tujuan sebenarnya.
“Asoka? Boleh ngobrol sebentar?”
“Oh iya! Dari tadi kita diem-dieman ya…maaf-maaf.”
Kaki menapak lantai demi lantai, melintas ruang demi ruang hingga akhirnya sampai di tempat yang dirasa cukup nyaman bagi diri. Sama-sama penyuka seni, si pecinta sendiri yang tidak mengerti cara berbasa-basi.
“Kamu ada masalah?” bukan, bukan itu yang sebenarnya ingin Nalendra katakan. Namun pertanyaan tentang ‘mengapa nama keluarga Asoka dan Bima berbeda?’ tidak sepantasnya dipertanyakan di waktu seperti ini.
“Maksudnya?”, “Ada masalah apa? Bangun tidur pusing-pusing, bukan hal biasa, kecuali darah rendah.”
Lagi-lagi keraguan yang menghampiri. Tidak tau apakah harus jujur atau bohong. Namun, sekarang atau tidak sama sekali. Bangun kepercayaan sekarang, atau hancur dimakan sesal di kemudian hari.
“Oh itu…tadi malam gue kebanyakan…minum.” cicit Asoka yang tidak dibalas sepatah katapun.
“Itu alasan kamu minum air kelapa?” Asoka menampilkan deret giginya, tersenyum lebar seperti bocah tak bersalah dan mengangkat dua jari. “Heheh peace….”
“Kamu sudah makan?” geleng kepala yang menjadi jawaban Asoka seketika terhenti. Di sana, di pojok ruang sepi itu Nalendra menyejajarkan wajah keduanya. Napas yang muda tertahan, jauh berbeda dengan detak dan pompa jantungnya.
Rambut Asoka yang telah dirapikan sedemikian rupa saat pemotretan tadi, kini menjadi sasaran selanjutnya. “Lain kali, makan buah atau apapun yang hambar, kalau hangover.” lembutnya suara Nalendra dengan telak masuk ke indera pendengaran Asoka, bersamaan dengan telapak tangan yang masih dengan jahil mengacak rambut yang lebih muda.
Kini tangan di kepala beralih pada genggam. Ikatnya menarik yang lebih muda untuk pergi dari sana, lupa mempertanyakan kecukupan atas visual memukau karya-karya di sekelilingnya. Dan Asoka, hanya -sedikit- pasrah saat lengannya ditarik Nalendra secara tiba-tiba.
Diam, hanya itu yang Asoka lakukan. Masih merasa aneh dengan perlakuan Nalendra di dalam galeri. Si dokter muda itu bukan seperti dirinya yang Asoka kenal, yang kaku dan menyebalkan. Lelah dengan rasa canggung yang ia rasa, Asoka memberanikan diri untuk buka suara lebih dulu.
“Mau ke mana?”, “Makan, Soka.” jawab Nalendra singkat.
“Di?” deham kecil terdengar dari bangku kemudi, seolah yang lebih tua tengah berpikir keras. “Kamu yang tentukan.” bak disambar petir, Asoka membeku di tempat. Kenapa harus Asoka…yang dituntut membuat keputusan? Meski sepele, namun cukup membuat degup Asoka bekerja dua kali lipat.
Namun berbeda dengan yang ia rasakan saat di galeri. Kali ini bukanlah degup yang membuat perutnya menjadi taman kupu-kupu, atau relung dadanya menghangat. Degup ini membawa ketidak nyamanan dan buruk sangka bersamanya.
‘Gimana kalo si dokter ga suka?’
‘Gimana kalo ternyata makanannya ga enak?’
‘Gimana kalo nanti-’
“Pelan-pelan…saya percaya kamu.” lembut dan tulus, dua hal yang bisa ia dengar dari ucapan yang lebih tua, sukses menghentikan segala buruk sangka di kepala.
Keputusan jatuh pada resto sederhana yang sangat familiar di mata Asoka. Lagi-lagi gemerlap itu, Nalendra melihat indah bintang saat matahari masih bertengger di luar atap.
“Enak. Jadi waktu SMA kamu sering ke sini?”
“Iya, dulu sama temen-temen suka ke sini, resto andalan kantong siswa…eh iya kak, gue boleh tanya- sebentar, gue boleh panggil lo ‘kak’ ga?” Nalendra mengangguk, entah memperbolehkan pertanyaan yang mana. “Dari awal, beberapa kali kamu sudah panggil saya ‘kak’, kalau kamu ga sadar.”
Asoka mengangguk-angguk sebelum akhirnya melayangkan pertanyaan. “Awal pertama ketemu, gue udah serese itu, marah-marah ga jelas dan pergi ga pamit. Gue terkadang ga sopan dan kekanakan, gue juga egois dan drama. Kadang mendadak diam kayak tadi atau ‘aneh’ kayak di rumah sakit kemarin…lo kenapa masih mau terima gue?”
“Saya mau kenal kamu, Soka…saya mau mengerti rasanya jalan dari sepatu kamu.”
Asoka, dan sejuta detak yang masih harus dicari artinya, terdiam linglung harus merespon apa.